“Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti” (Matius 4:3).
Setelah Yesus dibaptis di sungai Yordan, Roh Kudus membawanya ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Pencobaan pertama yang diberikan oleh Iblis ada kaitan dengan rasa lapar yang Yesus alami setelah berpuasa selama 40 hari. Namun pencobaan Iblis dalam bagian ini bukan hanya berbicara mengenai rasa lapar dan pemuasan rasa lapar. Iblis memulai dengan frasa ‘jika Engkau Anak Allah’. Iblis bukan sedang meragukan identitas Yesus. Iblis tahu benar siapa Musuh besarnya. Sebaliknya, Iblis mau agar Yesus meragukan identitas-Nya sebagai Anak Allah. Iblis seperti mau mengatakan: benarkah Engkau Anak Allah? Jika ya, maka mengapa Engkau harus menderita kelaparan di tengah padang gurun yang tandus dan gersang ini? Mungkin saja Bapa-Mu tidak peduli pada-Mu sehingga Ia membiarkan-Mu di dalam keadaan seperti ini. Maka dari itu buktikanlah sendiri identitas-Mu dengan memerintahkan batu-batu supaya mereka menjadi roti!
Iblis mau Yesus meragukan identitas-Nya dan membuat-Nya menjalankan otoritas-Nya di tengah keraguan-Nya untuk mencari pembuktian diri. Namun Yesus yakin benar siapa diri-Nya di mata-Nya sendiri dan di mata Bapa. Tidak sedikitpun Yesus meragukan kasih Bapa kepada-Nya. Orang Kristen yang mudah jatuh adalah dia yang mudah meragukan kasih Allah kepadanya. Kecurigaan terhadap Allah akan membuat kita bimbang akan identitas kita sebagai Anak Allah. Jika kita meragukan identitas kita, maka hidup kita tidak akan jauh berbeda dari hidup mereka yang belum percaya.
Kita juga akan mudah digoyahkan ketika kita mengalami penderitaan dan kesulitan yang membuat kita meragukan kasih Allah kepada kita. Tidak jarang di dalam penderitaan orang Kristen berpikir: mengapa hal ini terjadi padaku? Apa salahku sehingga ini semua terjadi? Mengapa Allah tega membiarkan semua ini? Di manakah Allah ketika aku membutuhkan-Nya? Jangan-jangan Allah sudah tidak peduli lagi padaku. Hal itu tidak mengherankan karena memang aku masih melakukan dosa-dosa tertentu. Jika demikian halnya, maka sia-sialah aku mempertahankan identitas dan hidupku sebagai orang percaya.
Di tengah kegalauan seperti ini, kita justru harus berpegang teguh pada janji-janji Allah. Kita harus mengingat kembali bagaimana Ia telah memimpin kita di dalam perjalanan rohani kita dan bagaimana Ia setia dan tidak pernah meninggalkan kita. Pernahkah Allah meninggalkan Daud yang telah membunuh dan berzinah? Pernahkah Allah membuang Petrus yang pernah menyangkal-Nya 3 kali? Apakah Allah hanya menghukum Paulus di dalam penderitaannya selama ia melayani Tuhan dan tidak memberikan kepadanya janji hidup kekal? Kita tidak perlu meragukan kasih dan kesetiaan Allah karena Alkitab sudah menyatakan semua itu kepada kita.