…Murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan… (Yohanes 20:20)
Suatu kali Budi sedang membaca Alkitab di kelas. Ia menatap satu ayat dengan serius dan hampir tidak berkedip sama sekali. Anto melihat hal itu dan ia menghampiri Budi “serius banget bacanya. Ada apa sih?” Budi tetap berfokus pada ayat itu, namun ia mendengar Anto “aku bingung nih. Dalam buah Roh ada sukacita, tapi aku merasa jarang banget merasakan sukacita. Apa karena aku terlalu serius ya? Apa ada yang salah dari diriku?” Anto terdiam, merenung, tapi melanjutkan “iya, sudah bertahun-tahun aku menjadi Kristen tapi kog ya begini-begini saja sukacitanya. Aku senang sih kalau main games atau bercanda dengan keluarga, tapi sepertinya aku belum pernah bersukacita karena membaca Alkitab, berdoa, ataupun beribadah. Mungkin ada caranya untuk mendapatkan sukacita yang Alkitab katakan.” Budi menjawab “iya, aku pikir juga ada banyak teman-teman Kristen yang lain yang mengalami masalah yang serupa.”
Pernahkah kita merasa seperti Budi dan Anto? Atau saat ini pun kita masih seperti Budi dan Anto? Apa sukacita yang dimaksudkan Alkitab? Bagaimanakah kita mendapatkan sukacita itu? Hal ini patut direnungkan karena Alkitab sendiri menyatakan bahwa Tuhan Yesus memberikan kita sukacita-Nya (Yohanes 15:11). Tuhan Yesus tidak mungkin memberikan kita sukacita-Nya jika itu bukan hal yang penting bagi kerohanian kita. Sukacita juga adalah bagian dari buah Roh. Sukacita merupakan salah satu indikator kesehatan dan kedewasaan rohani kita. Jika sukacita adalah hal yang sedemikian penting, maka kita harus mengerti sukacita yang dimaksudkan Alkitab.
Sukacita yang dimaksud oleh Alkitab bukanlah sukacita yang berdiri sendiri di dalam kevakuman melainkan sukacita di dalam Tuhan. Apa maksudnya? Maksudnya adalah sukacita itu didapatkan hanya jika orang Kristen berada dalam relasi yang baik atau dekat dengan Tuhan.
Kita memahami Allah sebagai Sumber dari segala sesuatu termasuk sukacita. Ia adalah Sumber Sukacita yang sesungguhnya. Jika para pedagang bisa berkata “carilah keuntungan, tetapi lebih daripada itu, carilah sumber keuntungan” maka kita berkata “carilah sukacita, tetapi lebih daripada itu, carilah Sumber Sukacita itu.”
Manusia terpisah dari Sumber Sukacita itu karena dosa. Dosa berarti pemberontakan atau perlawanan terhadap Allah. Sebagai konsekuensinya, manusia mengalami kematian, yaitu manusia terpisah dari Sumber Kehidupan dan Sukacita itu. Namun Allah telah mengirim Anak-Nya untuk mendamaikan manusia kembali dengan Allah. Kita yang sudah didamaikan oleh-Nya sekarang beroleh status yang baru; dari musuh-musuh Allah menjadi anak-anak Allah. Kita mendapatkan kembali hak untuk mengalami sukacita itu.
Kita sudah mendapatkan sukacita itu namun belum sepenuhnya (already but not yet). Selama kita hidup di dalam dunia yang berdosa ini, kita harus terus melakukan peperangan rohani demi memperjuangkan sukacita itu. Meskipun dosa tidak lagi dapat memisahkan orang Kristen dari Allah, orang Kristen yang melakukan dosa akan menjadi lebih jauh dari Allah. Relasi ayah dan anak tidak mungkin dapat ditiadakan, namun anak yang memberontak terhadap ayahnya tentu akan menjadi semakin jauh dari ayahnya. Relasinya tidak terputus namun telah tercipta jarak di antara kedua belah pihak. Semakin orang Kristen menjauh dari Sumber Sukacita itu karena dosa, semakin sulit pula ia mendapatkan sukacita di dalam Tuhan.
Maka jawaban atas pergumulan Budi dan Anto adalah pertobatan. Setiap orang Kristen harus terus mendekatkan diri kepada Allah di dalam kekudusan. Hanya kekudusan yang dapat mendekatkan kita dengan Allah. Maukah kita hidup kudus demi mendekatkan diri kita kepada-Nya? Sukacita menanti mereka yang mau bergaul karib dengan Allah.