Martin Luther

Martin Luther lahir di Eisleben pada 10 November 1483 dalam keluarga yang saleh kovensional. Suatu ketika Luther mengalami sebuah peristiwa yang tidak akan dilupakannya. Saat itu dia hampir tersambar petir, sedangkan kerabatnya mati tersambar petir. Kejadian ini membuatnya takut akan kematian yang kemudian mendorongnya untuk masuk biara walau tidak mendapat dukungan ayahnya. Di sana, ia banyak belajar teologi dalam ordo Agustinus, dan 1508-1509 masuk Universitas Wittenberg.

Didalam kehidupan sebagai biarawan di biara Agustin Eremit, Luther sangat sensitif terhadap dosa-dosanya bahkan didalam sebuah tulisannya ia berkata “Saya seorang biarawan yang suci, yang dihadapan Allah merasa berdosa dengan kesalahan yang tidak bisa dipercaya secara hati nurani. Saya tidak merasa yakin bahwa bisa menyenangkan Allah melalui apa yang saya lakukan. Saya tidak mencintai Dia. Tidak, saya benci akan Allah yang ‘benar’ yang menghukum orang berdosa. Di dalam keheningan, saya tidak mengatakan apa-apa yang menghina Tuhan, tetapi masih mengeluh dan saya menjadi marah dengan Allah.

Luther terus bergumul sampai dalam suatu perenungan, ia akhirnya mengerti bahwa manusia tidak dibenarkan melalui perbuatan tetapi oleh kasih karunia Allah melalui iman. Sejak saat itu Luther mampu melihat keseluruhan Alkitab dengan cara yang berbeda.

Luther juga sangat menentang praktek penjualan surat pengampunan dosa (Indulgensia) dan untuk melawan Johan Tetzel, agen penjualan Indulgensia di Jerman, Luther menulis 95 tesis dan memakukannya pada papan pengumuman gereja  di Wittenburg. Hasilnya bukan sebuah perdebatan akademik melainkan sebuah perdebatan diantara orang-orang Jerman sendiri karena beredarnya tesis-tesis tersebut.

Pada 1520 Paus mengeluarkan Luther dari gereja Katolik Roma, satu keputusan yang paling ditakuti oleh umat karena paham bahwa di luar gereja Katolik Roma tidak ada keselamatan. Luther menanggapi keputusan tersebut dengan membakar surat keputusan Paus, hal ini lantas dianggap sebagai pemberontakan.

Pada 17 April 1521 ia tampil dihadapan kaisar dan memintanya untuk mencaput kembali ajarannya. Luther tidak bergeming, dengan mantap ia membuat sebuah pernyataan yang menjadi sejarah:  kecuali kalau saya diyakinkan oleh Alkitab dan pengertian yang jelas, karena saya tidak percaya pada paus dan konsili, sejak setiap orang mengetahui bahwa mereka berkontradiksi pada diri mereka sendiri. hati nuraniku telah tertawan oleh Firman Tuhan dan saya tidak dapat kembali ke belakang karena tidak aman dan tidak benar melawan hati nurani. Disini saya berdiri, saya tidak dapat melakukan yang lain, Tuhan tolong saya, Amin.

Pada 18 Februari 1546 Luther meninggal di Eisleben, Jerman, namun kematian Luther tidak memadamkan semangat reformasi di seluruh dunia.

John Calvin

John Calvin lahir di Noyon, Prancis 1509. Ayahnya seorang pengacara yang makmur dan Calvin mengikuti jejak ayahnya. Dia belajar di universitas Paris, di dalam masa studinya, Calvin menyadari bahwa ia lebih condong pada golongan Protestan meskipun ia sendiri lahir dari keluarga Katolik.

Calvin lantas makin mendalami bidang teologia. Pada tahun 1536 ia memutuskan untuk pergi ke Strasbourg, namun dalam perjalanan terjadi sebuah perang lokal, sehingga ia harus memutar melewati Jenewa. Pada saat itu, Jenewa baru saja menerima reformasi yang dipimpin oleh Guillaume Farel. Farel mengenali Calvin seorang sarjana muda yang bertalenta, ia meminta Calvin untuk melayani dan mereformasi gereja-gereja di Jenewa bersamanya. Awalnya Calvin menolak, namun Farel terus mendesak sampai akhirnya Calvin menyanggupi permintaan tersebut.

Usaha Calvin yang ingin melakukan reformasi secara cepat berbanding terbalik dengan kondisi gereja Jenewa yang masih sulit meninggalkan tata cara gereja Katolik Roma. Hal ini lantas membuat Calvin meninggalkan Jenewa pada 1538 dan melanjutkan perjalanannya ke Strasbourg dan melayani jemaat Perancis yang ada di sana. Meskipun keadaannya miskin tetapi cukup menyenangkan baginya. Ia juga berkesempatan bertemu dengan para reformator yang lain.

Di saat keadaan Jenewa semakin kacau, dewan kota memanggil Calvin untuk kembali ke Jenewa. Tetapi Calvin enggan kembali karena ia sudah jatuh cinta pada pelayanannya di Strasbourg. Martin Bucer, temannya di Strasbourg menyatakan bahwa sekarang ia sudah bersikap seperti Yunus. Ia pun kembali ke Jenewa.

Segera sesudah kembali, Calvin memberlakukan pemerintahan gereja yang sangat ketat serta disiplin yang ketat yang berbasis pada Alkitab. Ia memaksa seluruh masyarakat Jenewa untuk mentaati seluruh disiplin ini tanpa batas umur dan kedudukan. Bertahun-tahun ia menghadapi perlawanan dari para pejabat sampai pada akhirnya mereka tersingkir dari pemerintahan dan pemerintahan kota dipimpin oleh orang yang pro-Calvin.

Di dalam pemerintahan Calvin, Jenewa menjadi sebuah contoh dari kota yang mengalami reformasi secara menyeluruh. Calvin juga mendirikan sekolah bagi mereka yang ingin belajar doktrin yang berbasis pada Alkitab yang langsung disambut meriah oleh para intelektual dari berbagai negara. Dengan adanya akademi ini, maka reformasi dan penyebaran akan ide-ide dari Calvin semakin tersebar dengan cepat sehingga mempengaruhi banyak tempat.

Semasa hidupnya ia banyak menulis risalah polemis, baik untuk melawan gerakan Anabaptis, Pelagianisme dan juga sebagian melawan para pendeta dari golongan Lutheran. Selain itu Calvin meninggalkan tulisan berupa tafsiran-tafsiran terhadap Alkitab dan bukunya mengenai pengajaran agama kristen yang begitu terkenal yaitu Institutio, yang berisi pengajaran dasar dari kekristenan, seperti pengertian terhadap Allah, Roh Kudus, kesatuan dengan Kristus, pembenaran oleh iman, dan tentang geraja. Calvin terus berjuang sampai akhir hayatnya dalam usia 55 tahun.

John Knox

John Knox lahir sekitar tahun 1513 di Haddington, tidak jauh dari Edinburgh. Ia belajar di Universitas St. Andrews lalu ditahbiskan. Pada umur 30 tahun ia pindah ke Protestan. Ia sangat terkesan oleh teman sezamannya George Wishart, yang berkotbah tanpa takut dan membayar dengan nyawanya ketika di bakar di St. Andrews pada tahun 1546. Selama 13 tahun berikutnya Knox merantau ke mana-mana. Ia menjadi budak kapal Perancis selama 19 tahun setelah ikut dalam pemberontakan di St. Andrews yang gagal. Ia berada di Inggris pada bagian akhir pemerintahan Edward VI dan ikut dalam tahap-tahap terakhir penyelesaian Book of Common Prayer dari Cranmer pada tahun 1552.

Ketika Mary naik tahta pada tahun 1553, ia melarikan diri ke daratan Eropa. Untuk sementara waktu ia menjadi gembala jemaat di Inggris dalam pelarian di Frankfurt, tempat ia terlibat dalam pertikaian. Knox dan yang lain sudah beranjak lebih jauh dari Book of Common Prayer dan memperkenalkan pola kebaktian yang lebih banyak lagi bersifat Calvinis. Akan tetapi pengungsi yang lain menyuruh Richard Cox untuk menegur John Knox. Mereka mengatakan bahwa ingin memiliki gereja berawajah Inggris. Knox menjawab, “Semoga Tuhan memberikan, supaya gereja itu berwajah Kristus.” Perselisihan ini menjadi pendahulu dari konflik Puritan yang berlangsung selama pemerintahan Elizabeth I, ketika satu pihak menghendaki agar Book of Common Prayer dipertahankan, sedangkan pihak lain menghendaki Reformasi yang lebih jauh sesuai dengan gereja-gereja Calvinis di daratan Eropa.

Pada tahun 1559 Knox kembali ke Skotlandia dan membantu memperbaharui gereja di sana. Dengan bantuan orang lain, ia menyusun Book of Discipline (Buku Disiplin, 1561) dan Book of Common Order (Buku Aturan Umum, 1564). Ia juga merupakan tokoh terpenting diantara “enam John” (yaitu enam Reformator Skotlandia bernama John), yang dalam waktu empat hari menyusun Scots Confession (Pengakuan Iman Skotlandia). Pengakuan Iman ini diterima Parlemen Skotlandia dan menjadi Pengakuan Iman Gereja Reformasi Skotlandia sampai tahun 1647, ketika Pengakuan Iman “Westminster” menggantikannya. Karya terbesarnya adalah History of the Reformation of Religion within the Realm of Scotland (Sejarah Reformasi Agama dalam Kerajaan Skotlandia), yang baru terbit secara lengkap pada tahun 1644. Knox meninggal tahun 1572.

Berikut kutipan dari Pengakuan Iman Skotlandia:

Bahkan setelah kita lahir kembali, kalau kita katakana bahwa kita tidak mempunyai dosa, kita membohongi diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada dalam diri kita. Oleh sebab itu, kita berpegang pada Yesus Kristus, pada kebenaranNya dan perdamaianNya karena Ia adalah tujuan dan perwujudan Taurat; juga karena kita dibebaskan oleh Dia supaya kita tidak kena murka Allah, walaupun kita tidak memenuhi Taurat secara menyeluruh. Sebab, kalau Allah melihat kita di dalam tubuh AnakNya Yesus Kristus, Ia akan menerima ketaatan kita yang tidak sempurna seolah-olah sempurna dan pekerjaan kita yang penuh noda ditutupiNya dengan kebenaran AnakNya (Scots Confession/Pengakuan Iman Skotlandia 15).

William Chalmers Burns

William Chalmers Burns (1815-1868) lahir sebagai anak ke-7 dari 10 bersaudara di Skotlandia, Oleh ayah bernama William Hamilton Burns dan ibu Elizabeth Chalmers dari Aberdeen. Tahun 1800, sang ayah ditahbiskan dan dilantik sebagai asisten dan pengganti pendeta senior di Church of Scotland, di wilayah Dun, di County of Angus.

Ketika keluarga ini pindah ke kota Kilsyth, William C. Burns yang berusia 6 tahun menghadiri sekolah dari gereja, yang kepala sekolahnya adalah Pdt. Alexander Salmon, “seorang guru dengan kepandaian dan kemampuan yang langka”. William Chalmers memiliki bekerja dengan giat dan mendudukin peringkat yang baik dalam semua pelajarannya.

Selain kebaktian di hari Sabat, William Chalmers mendapat pengaruh langsung dari ayahnya, termasuk sesi setengah ham bacaan pribadi bersama-sama setiap pagi sebelum sarapan dan jam-ham katekisasi dan doa yang teratur pada malam Sabat.

Pada mulanya, William Chalmers akan bertani seperti teman-temannya. Namun, paman dari pihak ibu dari Aberdeen, melihat bakat yang besar di dalam diri anak yang berusia dua belas tahun ini dan membujuk orang tuanya untuk mengizinkannya membawa anak mereka ke Aberdeen Grammar School selama satu tahun.

Studinya yang begitu cemerlang, ia masuk University of Aberdeen. Dan dalam dua semesternya, ia mencapai hasil yang baik dalam perkuliahan. Tahun 1831, ia memutuskan untuk memenuhi kualifikasi untuk profesi hukum, hanya karena pertimbangan duniawi, kekayaan dan rumah-rumah bagus. Hal ini sangat mengecewakan ayahnya yang berharap menggantikannya di bidang pelayanan. Prospek yang besar di hadapannya, membuatnya bergabung di kantor saudara laki-laki ayahnya.

Tetapi pimpinan Allah tidak mungkin kalah. Sebelum kontrak tersebut selesai dan ditandatangani, sesuatu di dalam hidupnya terjadi. Ia tergerak untuk menjadi seorang pendeta. Dan kemudian ia mengambil studi teologi di University of Glasgow. Setelah lulus, ia terus menggumulkan ke manakah ia harus mengabarkan injil kepada jiwa yang belum pernah mendengar berita tentang Kristus. Setelah tiba waktunya, di antara India, Arab, Eropa dan lain-lain, ia dipanggil untuk melayani di Tiongkok. Namun, keinginan ini harus tertunda selama Sembilan bulan.

Saat awal pelayanannya di Skotlandia, ia menjadi seorang yang sangat berkobar dalam melayani Tuhan. William Chalmers berkhotbah bahkan selama berminggu-minggu terus menerus sepanjang hari. Bahkan ada pula kumpulan pendeta, namun ia tetap memanggil untuk bertobat. Dan sanggup menggetarkan orang yang mendengarnya. Burns memiliki hati yang sangat luas. Ia sangat ingin mengelilingi dunia satu kali sebelum mati, untuk mengabarkan injil.

Setelah Dundee dan Kilsyth, dia mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani di Perth dan Aberdeen. Hal yang terjadi di Aberdeen sangat unik. “Khotbah-khotbah di hadapan banyak pendengar yang penuh memadati tiga gereja pada setiap hari Sabat; persekutuan-persekutuan doa di pagi dan sore hari, ceramah umum petang setiap hari sepanjang minggu, dan umumnya ditambah lagi satu jam konseling, pengajaran, dan doa bagi mereka yang karena kekhawatirannya yang besar masih tertahan setelah kebaktian yang panjang itu selesai, dengan percakapan sambil berjalan di sekitar gereja, dan pembahasan dengan orang-orang yang mencari tahu dan para murid yang masih muda usia dan pada segala jam yang tersedia, merupakan sejarah pekerjaannya sehari-hari. Seluruhnya selama berminggu-minggu.”

William Chalmers terus masih gelisah dengan panggilannya yang semula, yaitu mengabarkan injil di luar negeri. Akhirnya ia putuskan untuk bertemu dengan Komisi Luar Negeri Gereja Presbiterian. Komisi tersebut sudah mencari pendeta yang cocok selama 2 tahun, namun tidak ada yang cocok. Dan akhirnya mereka memilih William.

Ia mendapat kesempatan berdoa selama dua bulan dan akhirnya memutuskan untuk ke Tiongkok. Akan tetapi, beberapa hambatan muncul. Pertama, negara tersebut tertutup dengan pengabaran injil. Kedua, misionaris di sana sudah cukup, sehingga komisi menunda keberangkatannya. Namun, ia tetap kukuh yakin kalau ia tetap harus ke Tiongkok. Setelah komisi luar negeri pun yakin akan apa yang dikatakan Burns, akhirnya mereka memutuskan untuk tetap mengutus Burns. Ketika ditanya, kapan ia siap untuk berangkat, ia mengatakan “Besok!”. Meski ia tidak setuju ditahbiskan, namun akhirnya ia pun ditahbiskan.

Sebelum tiba di tanah Tiongkok, Burns mengalami ujian di dalam kapal Mary Bannatyne. Setelah tujuh minggu di dalam kapal, ia menuliskan mengenai dirinya yang belajar bahasa mandarin sedikit demi sedikit setiap hari. Bahkan ia sanggup berbicara mengenai injil dalam bahasa mandarin yang sangat terbatas dan sangat terbata-bata di dalam kapal.

Berlayar selama kurang lebih 5 bulan, kapal tersebut akhirnya mendarat di Hong Kong. Setelah mendarat, Burns menulis, “Rasa syukur karena luputnya kami dari bahaya karam, sekarang tampak semakin besar, ketika kami mendengar beberapa hari yang lalu bahwa kapal Anne and Jane dari London, yang sama-sama berlayar di Laut Jawa, terhempas di pantai dekat Manila dan sepenuhnya hilang. Akan tetapi semua, kecuali salah satu anak buah kapal dan seorang penumpang, dapat diselamatkan.”

Negeri Sinim (Tiongkok di dalam Alkitab), negeri dengan penduduk yang paling banyak di seluruh dunia. Ia memperjuangkan untuk memperkembangkan bahasa Mandarinnya. Ia mengajar bahasa Inggris kepada anak laki-laki dan dibayarkan dengan bahasa Mandarin anak tersebut. Dan sering mengikuti kebaktian di dalam bahasa Mandarin. Langkah selanjutnya adalah ia tinggal di tengah-tengah masyarakat lokal. Ia dapat melayani orang-orang lokal dengan dialek daerah Mandarin yang digunakan di daerah tersebut. Setelah itu, Tuhan membuka jalan untuknya agar membuka sekolah kecil bersama rekan-rekan yang Tuhan beri. Di dalam gereja yang ia layani pun, perlahan-lahan ia menggantikan kebaktian Inggris dengan Mandarin. Dan ia pun melayani di dalam bahasa Mandarin.

Kegigihannya memperkembangkan dirinya di dalam bahasa Mandarin yang adalah bahasa lokal, juga mendorongnya untuk menerjemahkan beberapa karya ke dalam bahasa Mandarin. Alkitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Mandarin. Serta beberapa hymn yang ia terjemahkan. Buku The Pilgrim’s Progress pun ia terjemahkan ke dalam bahasa sederhana.

William C. Burns disebut sebagai “tokoh kebangunan rohani yang berapi-api”. Penginjil yang bernyala-nyala adalah gambaran yang jauh lebih tepat. Ia adalah cahaya terang yang menyala. Dan, sekalipun kita akan segera memperingati seratus tahun kematiannya, cahaya yang tinggal masih membara: “Telah tiada, tetapi ia masih bicara,” memanggil generasi yang menyukai kemudahan, kesenangan diri sendiri agar “mencukupkan diri dalam kekurangan” dan “memberikan hati dan jiwa dan akal budi dan kekuatan untuk melayani Raja di atas segala raja.”

Seri Misionaris Perintis – William Chalmers Burns. Penerbit Momentum

(Dirangkas oleh Paulina Prasetyo)