Kesombongan dan Iri Hati Adam

Kutipan oleh G. J. Baan dari buku “TULIP” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 13.

Apa sebenarnya dosa Adam itu? Secara sederhana, Adam berdosa karena memakan buah dari sebuah pohon, meskipun Allah telah melarang dia untuk memakannya. Pada waktu kita membandingkan dosa ini dengan hukuman berat yang ditimpakan karenanya, kita mungkin berpikir bahwa dosa yang satu ini dihukum dengan terlalu berat, jika melihat kejahatan seperti apa yang sudah dilakukan. Namun demikian, dosa yang satu ini mencakup seluruh rangkaian dosa lain. Marilah kita pertama-tama membahas dua dosa yang bersifat “umum.”

Pertama, dosa memakan buah terlarang merupakan pertanda kesombongan. Ini juga yang dikatakan Iblis kepada Adam. Dengan kesombongan ini, ia menggerakkan Adam untuk berbuat dosa. Adam ingin menjadi seperti Allah dan tidak mengakui adanya Allah lain di atas dirinya. Ini menandakan ciri-ciri manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa: ia tidak mau mengakui suatu Allah yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Kesombongan sudah mendarah daging dalam diri kita.

Kedua, kita dapat memandang dosa ini sebagai dosa iri hati. Manusia iri kepada Allah karena Ia tahu apa yang baik dan apa yang jahat, dan manusia pun ingin mengetahui hal itu. Ini tidak hanya berlaku dalam hal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat tetapi juga dalam hal-hal lain yang diketahui Allah dan tidak diketahui manusia. Iri hati ini berhubungan sangat dekat dengan kesombongan. Sebagai akibatnya, setiap hari kita melakukan banyak dosa lain. Terlebih lagi, kesombongan adalah akar dari banyak kejahatan. Selanjutnya, dosa Adam dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap Sepuluh Perintah, tanpa kecuali, yang telah diberikan oleh Allah di dalam hukum-Nya.

Benarkah Sebutan “Kita” Merujuk kepada Allah Tritunggal?

Kutipan Stephen Tong dari buku “Hati yang Terbakar” (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 41.

Ada bantahan yang mengatakan bahwa hal itu [penggunaan kata “Kita” dalam Kejadian 1:26] merupakan sesuatu yang umum dalam pembentukan bahasa-bahasa di Timur Tengah. Pada waktu mereka menyebut dewa atau ilah mereka, mereka juga tidak pernah memakai bentuk tunggal, melainkan bentuk jamak, sebagai indikasi yang menunjukkan penghormatan mereka terhadap yang harus lebih dihormati daripada manusia, yaitu dewa atau ilah mereka. (Di daerah-daerah tertentu di Indonesia, penggunaan kata kita atau kami juga sering dipakai sebagai kata ganti orang dalam pengertian tunggal.) Hal ini memang benar, namun bukan berarti kita bisa menyangkal bahwa Allah telah menyatakan diri dengan cara yang berbeda dari cara bangsa-bangsa lain dalam menyebut dewa-dewa mereka. Lagi pula, kebiasaan menyebutkan dewa atau ilah mereka dengan bentuk jamak ini baru muncul jauh sesudah Kitab Kejadian dituliskan melalui Musa.

Mengenal Allah dengan Iman dan Rasio

Kutipan oleh Stephen Tong dari buku “Hati yang Terbakar” Vol. 1A (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 15-16.

Kebudayaan Yunani dan Ibrani  merupakan dua sumber yang menjadi fondasi pembentukan seluruh kebudayaan Barat dan seluruh pengembangannya. Dari kebudayaan Ibrani, dunia Barat menemukan iman; dari kebudayaan Yunani, mereka menemukan rasio; dan keduanya saling bertentangan di sepanjang abad dalam sejarah. Di dalam sumber yang pertama, yaitu sistem kepercayaan orang Ibrani, yang merupakan wujud kekaguman terhadap apa yang diberikan melalui wahyu Allah, mereka melihat fakta yang tidak dapat mereka tolak, dan mereka hanya dapat menerimanya, dan pada akhirnya memuji dan berbakti kepada Allah. Dari sumber yang kedua, yaitu sistem berpikir (filsafat) orang Yunani, mereka didorong untuk menyelidiki dan menganalisis, serta mencatat penemuan-penemuan mereka secara sistematis, sehingga mengakibatkan terjadinya perkembangan dan pengetahuan di dunia Barat. Sebenarnya, keduanya bersumber dari Allah sendiri. Kalau orang Yunani menggali pengertian dari wahyu umum (dalam alam), maka orang Ibrani menerima wahyu khusus (dalam Alkitab); jika keduanya digabung menjadi satu, maka kita akan mengetahui bagaimana menggunakan rasio dengan sebaik-baiknya dan sesudah itu mengetahui bagaimana memuji Allah. Ketimpangan akan terjadi jika kita memuji Allah tanpa mengerti apa-apa, tanpa menyelidiki atau mempelajari doktrin, percaya tanpa pengertian yang benar. Yang sebaliknya juga akan timpang, yakni jika kita hanya mempelajari segala doktrin tanpa mengenal Allah, dan tidak percaya kepada wahyu Allah. Dua pola ini merupakan pola dari banyak orang Kristen pada saat ini. Banyak orang Kristen yang belajar dan belajar terus, bahkan belajar theologi, tetapi pada akhirnya tidak percaya kepada Allah, tidak percaya akan wahyu Allah, karena mereka menjadikan Alkitab sebagai objek rasio mereka. Golongan lainnya menolak segala pemikiran theologi, yang dianggap mematikan iman, dan hanya mementingkan memuji Tuhan tanpa mengerti secara benar wahyu Allah.

Mengenal Allah Tritunggal yang Melampaui Rasio

Kutipan oleh Stephen Tong dari buku “Hati yang Terbakar” Vol. 1A (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 12-13.

…tidak mungkin Allah Tritunggal dimengerti sepenuhnya oleh rasio manusia, karena Allah adalah Allah yang tidak terbatas, sedangkan manusia sangat terbatas. Memang, doktrin Allah Tritunggal adalah doktrin yang paling sulit dimengerti, paling sulit dijelaskan, paling sulit diterima, paling sulit dipercaya, paling sulit diungkapkan dengan kata-kata atau istilah-istilah manusia. Doktrin ini bagaikan doktrin yang tidak dapat harmonis dengan rasio manusia. Namun, apakah karena sedemikian sulit, lalu kita tidak perlu mengajarkannya atau tidak perlu mengabarkannya? Tidak! Walaupun doktrin ini sulit, tidak berarti kita tidak perlu mengerti, tidak berarti kita tidak perlu menjelaskan, tidak berarti kita tidak perlu percaya, tidak berarti kita tidak perlu memakai rasio untuk memikirkan. Prinsip theologi Reformed yang saya pegang dengan teguh menyatakan bahwa orang Kristen bukanlah seorang rasionalis, tetapi orang Kristen harus menjadi orang yang rasional. Maksudnya, rasio kita tidak mungkin mencapai keseluruhan pengetahuan firman, tetapi rasio kita  harus dipergunakan secara maksimal untuk mengerti firman Tuhan. Meskipun kita tidak mungkin mencapai pengetahuan yang sempurna karena kita bukan Allah, namun kita harus semaksimal mungkin mendayagunakan segala sarana yang diciptakan Tuhan di dalam diri kita untuk mengenal firman Allah.

Apa perbedaan istilah “rasional” dan “rasionalis”? Rasional berarti seseorang yang menggunakan fungsi rasionya secara maksimal tanpa memperilah rasionya sebagai sesuatu yang mutlak, dengan perkataan lain, dia tidak memutlakkan rasionya. Sedangkan seorang rasionalis ialah orang yang menjadikan rasionya sebagai ukuran untuk mengerti segala sesuatu. Dengan perkataan lain, rasionalis adalah seorang yang memutlakkan rasionya. Kita menolak pandangan rasionalis karena kita sadar bahwa rasio hanyalah ciptaan yang terbatas dari Allah.

Kristus sebagai Dasar Pengenalan akan Allah

Kutipan oleh Stephen Tong dari buku “Hati yang Terbakar” Vol. 1A (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 11.

Allah orang Kristen adalah Allah yang memperkenalkan diri-Nya di dalam diri Yesus Kristus; dan Yesus Kristus merupakan puncak dari wahyu Allah. Wahyu Allah yang ada di dalam alam saja tidak cukup. Wahyu Allah yang terdapat di dalam Kitab Suci bersifat lebih tinggi. Namun, klimaks atau puncak wahyu Allah terdapat di dalam diri Kristus, Pribadi Kedua yang turun ke dunia. Di dalam diri Kristus kita mengenal Allah secara sempurna, dan di dalam diri Kristus kita mengenal Allah secara benar dan tepat. Keakuratan pengenalan Allah hanya bisa dicapai melalui pengenalan akan Kristus; dan yang memberikan kesaksian yang benar tentang Kristus adalah Firman yang tertulis di dalam Alkitab. Itulah sebabnya Alkitab merupakan saksi bagi Kristus, yang menyaksikan tentang Kristus, dan melalui Kristus inilah kita datang kepada Allah Bapa. Namun dari manakah kita dapat mengerti Alkitab? Dari Roh Kudus. Roh Kudus memimpin kita ke dalam arti yang sesungguhnya dari Alkitab. Melalui Alkitab kita dipimpin seluruhnya ke dalam pengenalan akan Yesus Kristus. Melalui Kristus kita mengenal Allah Bapa yang sesungguhnya. Dengan perkataan lain, kunci kita mengenal Alkitab adalah Roh Kudus, kunci kita mengenal Yesus Kristus adalah Alkitab, dan kunci kita mengenal Allah Bapa adalah Yesus Kristus. Dengan demikian, kita mengenal Allah melalui Kristus; kita mengenal Kristus melalui Firman-Nya; dan kita mengenal Firman melalui Roh Kudus.