Joseph Kam, lahir di September 1769 di Utrecht. Sebuah kota yang berada di Belanda. Ayahnya, Joost Kam, seorang pengusaha kulit dan pembuatan wig. Keluarga Kam merupakan Calvinist yang saleh dan anggota gereja Reformed di desanya. Memiliki kakak lelaki yang kemudian menjadi pendeta dan melayani di gereja, menyisakan Joseph seorang diri yang menjadi pengharapan orangtua untuk melanjutkan usaha keluarga.
Bisnis yang dijalani oleh Joost Kam membuatnya memiliki relasi yang sangat dekat dengan para pemimpin Moravian. Joseph pun memiliki relasi yang juga baik terhadap para pemimpin ini. Karena itu, kita dapat menemukan bahwa pemikiran teologi, pelayanan dan kehidupan spiritual Joseph Kam sangat dipengaruhi oleh Reformed dan juga Moravian yang dikenal pietis. Pembentukan ini membuat Joseph memiliki kerinduan untuk mengabarkan injil melalui perjalanan misi ke luar wilayahnya.
Sebelumnya, Gereja Reformed Belanda mulai tahun 1571 menggalakkan perjalanan misi pengabaran injil sebagai buah pemikiran teologisnya. Mereka mengadakan berbagai diskusi, pelatihan dan pengiriman misionaris ke luar wilayah mereka. Tahun sebelumnya, Gerakan pengiriman misionaris ini sangat berelasi erat dengan VOC. Namun, tahun 1624 hingga 1634, Gereja Reformed Belanda banyak menentang kebijakan VOC, hingga akhirnya dibubarkan oleh VOC. Desember 1797, Johannes Theodorus van der Kemp memimpin 20 orang dan mendirikan Nederlandsch Zendeling-Genootschap (NZG, Netherland Missions Society). Lembaga misi ini menjadi cikal bakal pengaruh yang besar terhadap pelayanan Joseph Kam nantinya.
Tahun 1804, Kam dan kedua saudarinya pindah ke The Hague. Di sana, Joseph Kam terus berasosiasi dengan gereja Reformed dan komunitas Moravian. Ia pun menikah dengan Alida. Januari 1806, Alida meninggal saat melahirkan anak perempuan pertama mereka. Sebulan setelahnya, putrinya pun meninggal. Krisis yang terjadi di usia 36 tahun ini, membuatnya membulatkan tekadnya untuk bermisi. Bulan Desember, ia melayani di NZG.
“Melayani Sang Penebus dan memberitakan Kerajaan-Nya adalah ungkapan syukur saya atas kesatuan saya dengan-Nya”. Kalimat ini yang Joseph Kam tulis ketika mendaftarkan diri ke NZG. Setelah diterima, Joseph Kam menjalani menjalani pelatihan yang diadakan oleh NZG yang bekerjasama dengan the Zeith Morivian. Fase kedua yang Joseph Kam lewati adalah kerjasama antara NZG dan LMS (London Missionary Society). Melalui LMS, Joseph Kam dan dua rekannya dikirim ke Indonesia. Tahun 1815, mereka tiba di Ambon, Maluku.
Era sebelum Joseph Kam tiba, Ambon menjadi tempat perdagangan rempah-rempah dan administrasi Belanda. Gereja-gereja di sana, banyak dibangun atas asosiasi VOC dengan lembaga misi yang ada. Namun, ketika Belanda kalah dan Indonesia diduduki oleh Inggris, banyak pendeta yang meninggalkan gerejanya. Joseph Kam tiba di sana, bertemu dengan jemaat-jemaat yang ditelantarkan, yang menyerah atas gereja dan tidak dapat menemukan pendeta sama sekali. Bahkan di beberapa pulau luar, terdapat desa-desa yang tidak dilayani selama kurang lebih 14 tahun.
Kedatangan Joseph Kam di masa itu, membawa pengharapan bagi orang-orang percaya yang masih bertahan di sana. Sebelum ia datang ke Indonesia, ia telah ditahbiskan menjadi seorang pendeta. Maka, kedatangannya menjadi sukacita bagi orang-orang Kristen di sana. Joseph Kam melayani perjamuan kudus, katekisasi, membaptis anak-anak jemaat, memimpin pernikahan dan melayani penduduk yang awalnya berkepercayaan animism dan kemudian menjadi Kristen.
Kam menghabiskan beberapa tahun pertamanya untuk naik turun gunung, menyeberangi dengan kapal, menuju ke jemaat yang selama ini diterlantarkan. Sekitar 7.500 orang dibaptis dari pelayanan awalnya. Ia mengambil waktu juga untuk melayani para penatua, mengunjungi para jemaat dan hal ini berlangsung menjadi hal yang rutin. Joseph Kam diberi sebutan sebagai “Tukang Sakramen”.
Tujuh belas tahun berikutnya, Kam memperbaiki setiap administrasi gereja dan infrastrukturnya. Menyusun disiplin gereja, menerjemahkan Alkitab dan juga katekismus. Ia mempersiapkan percetakan bacaan-bacaan Kristen untuk orang-orang yang bukan pelayan penuh waktu di gereja. Ia pun memberikan edukasi atas sembahyang kepada leluhur yang seharusnya tidak lagi dilakukan.
Ia memberikan hatinya sepenuhnya kepada orang Maluku dan tinggal di sana. Penekanannya bukan hanya kepada pembelajaran mengenai kekeristenan, tetapi juga praktek yang meniadakan batasan dengan penduduk, penekanan pada penginjilan, pemuridan dan penekanan pada kebiasaan yang seharusnya ada di komunitas Kristen, menjadi penekanan utamanya juga.
Delapan minggu setelah ia tiba di Maluku, ia menikah dengan seorang wanita keturunan Eropa-Indonesia, Sara Timmerman. Bukan saja seorang istri yang mendukungnya, tetapi pasangan yang sepadan, pasangan spiritual yang sehati dalam permasalahan pengajaran dan mentoring.
Komitmennya yang sangat dalam dan teguh untuk orang-orang Maluku sangatlah signifikan untuk pelayanan misi pada masa itu. Banyak misionaris yang datang ke sana, meski banyak di antaranya meninggal tidak lama setelah tiba di Maluku. Banyak orang Maluku yang menerima Kam dan menganggapnya sebagai orang dalam juga. Bahkan ketika sekelompok orang merencanakan menargetkan orang putih untuk diserang, mereka sepakat untuk mengecualikan Kam dari incaran mereka. Kam pun melayani di pulau-pulau sekitar lainnya untuk mengabarkan injil.
Kam dan Sara banyak melatih orang-orang lokal untuk dapat menjadi pengajar-pengajar. Serta membekali mereka dengan kemampuan praktek berdagang dan mengirim mereka ke pulau lain untuk melayani. Kam memulai juga doa misi untuk orang-orang Eropa dan Ambon. Ia pun memulai dialog dengan orang-orang Islam dalam membicarakan mengenai Nabi Isa. Lima tahun sejak ia tiba, ia telah membaptis lebih dari 120 dewasa Islam menjadi seorang Kristen.
Apa yang menjadi penggeraknya selama ini, karena ia percaya bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk memimpin ibadah, berdoa maupun bernyanyi. Ia menulis hymn, bacaan renungan, dan khotbah dalam bahasa yang mudah digunakan oleh orang awam untuk memimpin suatu ibadah maupun persekutuan kecil. Ia sangat menyukai ibadah dengan music, sehingga ia mengorganisir orchestra dengan suling bambu di dalam ibadah mereka, hingga adanya grup vocal. Hingga saat ini, orang-orang Maluku sangat dikenal dengan kemampuan bernyanyi.
Kam memegang peranan penting di dalam misi-misi di kota-kota lainnya di Indonesia. NZG mengirimkan misionaris mereka ke Indonesia, dan mereka akan dilatih oleh Kam di gereja miliknya. Hal ini memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kemajuan kekristenan di Timur Indonesia. Nama-nama seperti Reynt le Bruyn, Johann Schwarz, and Johann Riedel, menjadi pengaruh besar di Kupang, Timor dan Minahasa, Sulawesi Utara, untuk membangun ulang gereja yang ada di sana. Tahun 1880, 80% dari populasi di sana, termasuk orang-orang penting dalam kepercayaan lokal di sana, menjadi seorang yang juga mengikut Yesus sebagai Tuhan mereka.
Sumber Bacaan:
A History of Christianity in Indonesia – Jan Sinar Aritonang and Karel Steenbrink.
Joseph Kam: Moravian Heart in Reformed Clothing – Susan Nivens http://www.internationalbulletin.org/issues/2011-03/2011-03-164-nivens.pdf
(Diringkas oleh Sdri. Paulina)