Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin (Mazmur 1:4)
Setelah menjelaskan tentang orang yang berbahagia atau diberkati, pemazmur menjelaskan tentang orang fasik. Dari ayat 1-3 pemazmur sama sekali tidak menyebutkan istilah ‘orang benar’. Dua pihak yang sedang dibandingkan oleh pemazmur adalah ‘orang yang berbahagia (diberkati)’ dan ‘orang fasik’. Kita bisa menafsir dari Mazmur1 ini bahwa orang yang berbahagia (diberkati) itu adalah orang benar, sedangkan orang fasik itu tidak mendapatkan berkat (dan tidak berbahagia).
Pemazmur menganalogikan orang fasik sebagai sekam. Pada masa itu, sekam adalah bagian yang tidak berguna sehingga dibuang oleh para petani. Di mata Tuhan, berguna atau berharganya seseorang bukan dinilai dari bakatnya, penampilannya, berapa banyak usaha yang dihasilkannya, tetapi dari apakah orang itu benar atau fasik. Jadi Tuhan menilai manusia dari segi spiritualitas dan moralitasnya. Orang fasik dianggap ‘tidak berguna’ oleh Tuhan sehingga boleh disamakan dengan sekam.
Orang fasik itu dianggap sebagai sekam yang ditiupkan angin. Sekali sekam yang kecil itu sudah ditiup oleh angin, sekam itu hampir tidak mungkin ditemukan kembali. Jika angin membawa sekam itu begitu jauh, maka sekam itu sudah tidak mungkin ditemukan kembali. Ini menggambarkan kesementaraan orang fasik. Berlawanan dengan pohon yang terus menerus hidup dan berbuah, sekam itu dibuang dan hilang sekejap begitu saja. Rasul Yohanes menulis dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya (1 Yohanes 2:17).
Pertanyaan renungan: apakah kita memilih menjadi orang benar atau orang fasik? Sadarkah kita akan kesementaraan dari kebahagiaan orang fasik yang hanya bersifat fenomena? Maukah kita menjalankan kehendak Allah yang kekal?