Kutipan oleh Stephen Tong dari buku “Hati yang Terbakar” Vol. 1A (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 15-16.
Kebudayaan Yunani dan Ibrani merupakan dua sumber yang menjadi fondasi pembentukan seluruh kebudayaan Barat dan seluruh pengembangannya. Dari kebudayaan Ibrani, dunia Barat menemukan iman; dari kebudayaan Yunani, mereka menemukan rasio; dan keduanya saling bertentangan di sepanjang abad dalam sejarah. Di dalam sumber yang pertama, yaitu sistem kepercayaan orang Ibrani, yang merupakan wujud kekaguman terhadap apa yang diberikan melalui wahyu Allah, mereka melihat fakta yang tidak dapat mereka tolak, dan mereka hanya dapat menerimanya, dan pada akhirnya memuji dan berbakti kepada Allah. Dari sumber yang kedua, yaitu sistem berpikir (filsafat) orang Yunani, mereka didorong untuk menyelidiki dan menganalisis, serta mencatat penemuan-penemuan mereka secara sistematis, sehingga mengakibatkan terjadinya perkembangan dan pengetahuan di dunia Barat. Sebenarnya, keduanya bersumber dari Allah sendiri. Kalau orang Yunani menggali pengertian dari wahyu umum (dalam alam), maka orang Ibrani menerima wahyu khusus (dalam Alkitab); jika keduanya digabung menjadi satu, maka kita akan mengetahui bagaimana menggunakan rasio dengan sebaik-baiknya dan sesudah itu mengetahui bagaimana memuji Allah. Ketimpangan akan terjadi jika kita memuji Allah tanpa mengerti apa-apa, tanpa menyelidiki atau mempelajari doktrin, percaya tanpa pengertian yang benar. Yang sebaliknya juga akan timpang, yakni jika kita hanya mempelajari segala doktrin tanpa mengenal Allah, dan tidak percaya kepada wahyu Allah. Dua pola ini merupakan pola dari banyak orang Kristen pada saat ini. Banyak orang Kristen yang belajar dan belajar terus, bahkan belajar theologi, tetapi pada akhirnya tidak percaya kepada Allah, tidak percaya akan wahyu Allah, karena mereka menjadikan Alkitab sebagai objek rasio mereka. Golongan lainnya menolak segala pemikiran theologi, yang dianggap mematikan iman, dan hanya mementingkan memuji Tuhan tanpa mengerti secara benar wahyu Allah.