Hidup yang Dipimpin dan Dikuatkan oleh Roh Kudus

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 68.

Hidup menurut tuntunan Roh berarti menunggu Roh, bertanya apa yang Roh inginkan untuk kita kerjakan, dan ke mana Roh ingin kita pergi. Hal ini memerlukan studi Alkitab setiap hari, karena Roh tidak akan menuntun kita terpisah dari Firman. Semakin baik kita mengenal Alkitab, semakin baik pula kita akan mengetahui seperti apa hidup menurut Roh itu. Diungkapkan secara negatif, hidup menurut tuntunan Roh berarti mendiamkan suara kedagingan, mengalahkan energi untuk bersikap terburu-buru yang timbul dari daging, menahan setiap dorongan sampai terbukti bahwa itu adalah dari Allah. Secara positif, hal ini berarti dipimpin oleh-Nya, mendengarkan-Nya saat Dia menyatakan diri-Nya di dalam Firman-Nya, dan berserah kepada-Nya terus-menerus.

Hidup oleh kekuatan Roh berarti bersandar pada-Nya untuk mendapatkan kekuatan rohani yang diperlukan. Artinya, percaya bahwa Roh dapat memberikan kepada kita kekuatan yang cukup untuk setiap kebutuhan, meminta kekuatan itu di dalam doa kapan pun kita memerlukannya, dan menggunakan kekuatan itu dengan iman di dalam menghadapi permasalahan setiap hari. Satu-satunya cara agar kita dapat hidup oleh kekuatan Roh adalah dengan menjaga hubungan yang konstan dengan-Nya. Perbedaan antara radio yang menggunakan baterai dan radio yang perlu dicolokkan ke sumber listrik adalah bahwa radio yang terakhir ini harus selalu dicolokkan kepada sumber listrik untuk dapat berfungsi. Roh memberikan kita kekuatan, bukan seperti radio baterai, melainkan seperti radio colokan: kita perlu mencolokkan diri kita kepada-Nya setiap saat.

Apa Ciri Orang yang Dipenuhi Roh Kudus?

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 65-6.

Apakah bukti dipenuhi dengan Roh? Bukan emosionalisme yang berlebihan atau fenomena yang spektakuler (perhatikan bahwa pada [Efesus 5:18-21] tidak tercatat mengenai berbahasa lidah atau karunia menyembuhkan), sebaliknya, dalam sikap sebagai berikut: (1) menyembah Allah bersama-sama dan dengan demikian saling meneguhkan satu sama lainnya; (2) bermazmur di dalam hati kita untuk Allah – suatu sikap dasar yang penuh sukacita; (3) selalu mengucap syukur kepada Allah untuk segala sesuatu; dan (4) merendahkan diri kita terhadap sesama orang Kristen yang timbul dari rasa takut akan Kristus. John R. W. Stott telah meringkas bukti dipenuhi dengan Roh menurut Efesus 5:18-21 sebagai berikut: ‘Hasil-hasil yang utuh dari kepenuhan dengan Roh sekarang telah dinyatakan dengan gamblang. Dua bentuk utama dari manifestasi kepenuhan ini adalah penyembahan dan persekutuan. Jika kita dipenuhi dengan Roh, kita akan memuji Kristus dan bersyukur kepada Bapa kita, dan kita akan berkata-kata satu sama lain dan saling menundukkan diri. Roh Kudus menempatkan kita di dalam hubungan yang benar dengan Allah dan sesama. Di dalam kualitas dan aktivitas rohani inilah, dan bukan di dalam fenomena supernatural, kita harus mencari bukti utama dari kepenuhan dengan Roh Kudus.’

Haruskah Saya Dibaptis dengan Roh Kudus?

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 61.

Empat kali penggunaan ungkapan ‘membaptis dengan Roh Kudus’ yang tercatat di dalam kitab-kitab Injil (Mat. 3:11; Mrk. 1:8; Luk. 3:16; dan Yoh. 1:33), adalah untuk mendeskripsikan kejadian historis yang akan terjadi, yaitu pencurahan Roh di hari Pentakosta. Jadi, misalnya, di dalam Markus 1:8, Yohanes Pembaptis dicatat mengatakan, ‘Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia [Kristus] akan membaptis kamu dengan Roh Kudus.’ Dalam rujukan pertama yang muncul dalam Kitab Kisah Para Rasul 1:5, ungkapan tersebut, yang sekarang dalam bentuk pasif, juga merujuk kepada kejadian ini: ‘Tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus.’ Jadi, kelima penggunaan ungkapan ‘baptisan dengan Roh Kudus’ bukan menunjukkan suatu pengalaman yang harus dialami orang percaya setelah konversinya, melainkan suatu kejadian historis yang terjadi di hari Pentakosta: pengaruniaan Roh Kudus bagi gereja di dalam kepenuhan-Nya – suatu peristiwa yang seperti juga peristiwa kebangkitan Kristus, merupakan peristiwa yang tidak terulang lagi.

Mengapa Disebut ‘Buah’ Roh?

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 57.

[M]engenai buah Roh: fakta digunakannya sebutan buah menunjukkan ide mengenai pertumbuhan. Ketika suatu buah baru muncul, katakanlah di pohon apel, pir, atau persik, buah itu agak kecil; diperlukan satu musim penuh untuk menjadikan buah itu bertumbuh ke ukurannya yang sepenuhnya dan rasa yang matang. Secara analogi, kita tidak dapat berharap untuk melihat buah Roh dalam bentuk yang matang di dalam kehidupan seorang anak kecil atau seorang petobat baru; harus ada waktu bagi pematangan dan pendewasaannya. Oleh karena itu, menghasilkan buah Roh jangan dipikirkan sebagai kejadian tunggal, suatu pengalaman yang klimatis dan dapat didata. Atau sebagai suatu bentuk pengalaman ‘berkat kedua,’ sebaliknya ini harus dilihat sebagai proses pertumbuhan rohani yang terus-menerus. Dan pertumbuhan ini bukanlah proses di mana kita dapat bersikap pasif; melainkan menuntut disiplin doa, iman, dan peperangan rohani seumur hidup.

Kuasa Kristus yang Berkemah di Atas Paulus

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 54.

Tiga kali Paulus memohon kepada Allah untuk mengangkat duri ini dari tubuhnya, tetapi jawaban Allah adalah, ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna’ [2 Kor. 12:9]. Paulus kemudian mengucapkan kata-kata yang luar biasa ini ‘Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.’ Karena kata yang diterjemahkan sebagai ‘menaungi’ adalah episkenose, yang diturunkan dari kata Yunani untuk kemah (skene), maka apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Paulus adalah, ‘sehingga kuasa Kristus dapat mendirikan kemahnya di atasku.’ Paulus telah mengalami kuasa ilahi luar biasa, yang dinyatakan bukan dalam bentuk kesembuhan dari penyakitnya, melainkan keteguhan di dalam menghadapi penderitaan. Paulus membuat kita tercengang ketika dia mengatakan bahwa dengan terus menanggung duri yang ia mohonkan kepada Allah untuk diangkat darinya ini, kuasa Kristus sekarang menaungi dirinya secara permanen. Dan Paulus menyimpulkan, ‘Sebab jika aku lemah, maka aku kuat’ (ay. 10). Maka di sini kita melihat kuasa Allah yang dimanifestasikan bukan di dalam bentuk penyembuhan dari penderitaan fisik, melainkan di dalam kemampuan untuk hidup di dalam penderitaan itu untuk memuliakan nama Allah. Aspek kuasa Allah inilah yang tidak boleh luput dari pandangan kita.