Standar Etika Institusi Publik Memengaruhi Etika Individu

Kutipan oleh Glen Stasse dan David Gushee yang diambil dari buku “Etika Kerajaan” (Surabaya: Momentum, 2008) halaman 76-7.

Kebajikan tidak hanya berarti moralitas pribadi. Etika karakter menegaskan bahwa setiap institusi publik mengandung asumsi-asumsi tertentu tentang karakter dan kebajikan macam apa yang seharusnya dimiliki oleh para partisipannya. Jadi, etika karakter menguji berbagai institusi melalui orang-orang jenis apa yang dikembangkannya (Hauerwas, Community of Character, 123). Standar-standar keadilan yang dipraktikkan dalam sebuah masyarakat mempunyai suatu pengaruh yang sangat besar pada berbagai kebajikan moral orang-orang dalam masyarakat itu. Los Angeles Times menerbitkan satu seri artikel tentang korupsi, kejahatan, dan kemiskinan di Rusia, melukiskan bagaimana sistem ekonomi di sana mendorong orang-orang Rusia menjadikan mencuri sebagai perbuatan yang biasa dilakukan. Dalam masa Perang Dingin, orang-orang Eropa mengamati bahwa orang-orang Amerika yang mereka temui telah menyerap budaya untuk melihat citra Uni Soviet sebagai gambaran musuh yang luar biasa buruknya. Setiap tanggal 4 Juli, orang-orang Amerika merayakan hari ‘kemerdekaan’ mereka -suatu bagian penting dari etos Amerika yang dibentuk oleh narasi sejarah Amerika, yang menceritakan bagaimana Amerika didirikan dalam suatu perang revolusi. Dan orang-orang Texas memperingati Pertempuran Alamo, hampir-hampir menjadikannya sebagai sebuah cerita suci tentang lahirnya Texas. Sejarah Amerika sering diajarkan sebagian besar sebagai sebuah sejarah tentang peperangan (Juhnke dan Hunter, Missing Peace). Televisi Amerika dan video games anak-anak penuh dengan adegan kekerasan.

Etika Karakter sebagai Alternatif yang Lebih Baik daripada Etika Kebajikan

Kutipan oleh Glen Stasse dan David Gushee yang diambil dari buku “Etika Kerajaan” (Surabaya: Momentum, 2008) halaman 51.

Untuk melawan kekuatan yang mengikis dari individualisme modern yang atomik, beberapa pakar etika bersikeras bahwa kita perlu berfokus bukan hanya pada keputusan yang benar atau salah, tetapi juga pada apa yang membentuk karakter dari orang-orang yang membuat keputusan dan melakukan perbuatan. Pertama, kita perlu menegaskan bahwa praktik-praktik tertentu membentuk karakter. Misalnya, jika sebuah keluarga, gereja atau komunitas secara eksplisit mempraktikkan kemurahan dalam membantu orang-orang yang dalam kebutuhan, maka para anggotanya sangat mungkin akan belajar berkemurahan dan berbelas kasihan. Kedua, kita perlu menegaskan kebajikan – tanda dari karakter yang baik – misalnya, kemurahan dan belas kasihan. Ketiga, kita harus menekankan bahwa karakter dibentuk bukan oleh diri sendiri, tetapi oleh pengaruh komunitas yang membentuk, mendorong dan mengoreksi. Jadi kita harus berusaha mengembangkan tipe-tipe komunitas yang membentuk karakter berbelas kasihan. Terakhir, komunitas dan karakter bergantung pada apakah kita tahu bahwa kita adalah partisipan dalam sebuah sejarah yang lebih luas, sebuah drama yang lebih besar. Karena keempat penegasan ini sangat menentukan bagi pengembangan karakter, kami lebih suka menyebut gerakan dalam etika ini bukan hanya sekedar etika kebajikan, tetapi memakai sebuah istilah yang lebih komprehensif, yaitu etika karakter.

Membawa Damai Allah bagi Musuh-Musuh Kita

Kutipan oleh Glen Stasse dan David Gushee yang diambil dari buku “Etika Kerajaan” (Surabaya: Momentum, 2008) halaman 37-8.

Menjadi seorang yang membawa damai merupakan bagian dari penyerahan diri kepada Allah, karena Allah membawa damai. Kita meninggalkan usaha untuk memenuhi kebutuhan kita melalui pembinasaan musuh-musuh. Allah datang kepada kita dalam Kristus untuk berdamai dengan kita; dan kita berpartisipasi dalam anugerah Allah ketika kita pergi kepada musuh kita dan berdamai dengan mereka. Inilah sebabnya mengapa orang-orang yang membawa damai ‘akan disebut anak-anak Allah.’ Dengan kata lain, berbahagialah orang yang berdamai dengan musuh  mereka, sebagaimana Allah menyatakan kasih kepada musuh-musuh-Nya.

Arti Dukacita dalam Ucapan Bahagia

Kutipan oleh Glen Stasse dan David Gushee yang diambil dari buku “Etika Kerajaan” (Surabaya: Momentum, 2008) halaman 29.

Dukacita, seperti miskin di hadapan Allah (miskin dalam roh), mempunyai makna ganda. Kata ini berarti duka kesedihan karena kehilangan seseorang atau sesuatu yang sangat dicintainya: orang yang tertindas dan orang yang berkabung berdukacita karena mereka mengalami kehilangan yang nyata dan menjadi sedih. Tetapi kata itu juga dapat berarti pertobatan: orang berdosa berdukacita karena dosa-dosanya dan dosa komunitasnya, dan mereka sungguh ingin mengakhiri dosa mereka dan melayani Tuhan. Nabi Amos mengumumkan penghukuman Allah atas orang-orang yang tidak berkabung. Mereka memeras orang lemah dan menginjak orang miskin dan berkata kepada tuan-tuan mereka, ‘bawalah [anggur] kemari, supaya kita minum-minum!’ Mereka berbuat dosa dan kemudian membawa korban-korban persembahan ke dalam Bait Suci. Mereka pikir korban-korban persembahan mereka akan menutup dosa-dosa mereka, selagi mereka terus berlaku tidak adil. Allah mengucapkan celaka atas mereka yang tidak berkabung: “Celaka atas orang-orang yang merasa aman di Sion… yang berbaring di tempat tidur dari gading… yang bernyanyi-nyanyi mendengar bunyi gambus… tetapi tidak berduka karena hancurnya keturunan Yusuf!… Bahwasanya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuata mereka! Tidakkah akan gemetar bumi akan hal itu, sehingga setiap penduduknya berkabung?… Aku akan mengubah perayaan-perayaanmu menjadi perkabungan” (Am. 4:1-5; 5:6, 14; 6:1-7; 8:7-10; 9:5). Ketika Yesus menyerukan untuk berdukacita, yang dimaksudkan-Nya adalah berdukacita dalam pertobatan yang tulus sehingga kita mengubah cara hidup kita.

Fokus Seorang yang Miskin dalam Roh

Kutipan oleh Glen Stasse dan David Gushee yang diambil dari buku “Etika Kerajaan” (Surabaya: Momentum, 2008) halaman 27.

Yesus mengajarkan bahwa mereka yang miskin (atau rendah hati) secara rohani, mereka yang berdoa dengan rendah hati tanpa mengklaim diri lebih baik daripada orang lain, adalah orang-orang yang berpartisipasi dalam pemerintahan Allah. Fokus dari orang yang miskin dalam roh atau miskin di hadapan Allah bukan terletak pada kerendahan hatinya atau kebajikannya sendiri, tetapi pada anugerah dan belas kasihan Allah. Allah berkata “Aku bersemayam… bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk,” dan, “Kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang tertindas dan patah semangatnya dan yang gentar kepada firman-Ku” (Yes. 57:15; 66:2).