Kasih Allah yang Memilih

Kutipan oleh D. A. Carson yang diambil dari buku “Kasih di Tempat-Tempat yang Sulit” halaman 9.

Kasih Allah yang memilih, kasih-Nya yang selektif. Dia adalah Allah yang memilih Israel – bukan karena Israel lebih besar atau lebih kuat atau lebih mengesankan daripada bangsa-bangsa lain, tetapi karena Dia mengasihinya (Ul. 7:7-8; 10:15). Ini tidak boleh dikacaukan dengan perikop-perikop yang berbicara tentang kasih Allah yang providensial, karena setiap orang tanpa kecuali adalah penerima kasih itu, sementara di sini seluruh maksudnya adalah bahwa kasih Allah membuat pembedaan. Itu sebabnya Allah dapat meringkas kasih ini dengan menunjuk kepada kategori yang membedakan: “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau,” firman Allah (Mal. 1:2-3) – suatu pembedaan, demikian Paulus menunjukkan, yang didasarkan pada pikiran Allah sebelum Yakub atau Esau “dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat” (Rm. 9:10-12). Sama halnya di Perjanjian Baru: “Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” (Ef. 5:25). Cara-cara berbicara seperti ini harus dibedakan dari perikop-perikop yang berbicara tentang kasih Allah yang merindukan dan mengundang, terlebih lagi dari perikop-perikop yang berbicara tentang kasih-Nya yang providensial kepada semua orang tanpa pembedaan.

Penghakiman dengan Kasih

Kutipan oleh R. C. Sproul yang diambil dari buku “Mendambakan Makna Diri” (Surabaya: Momentum, 2005) halaman 49-51.

Penghakiman dengan kasih ialah evaluasi terhadap orang-orang lain yang dilembutkan oleh kasih. Penghakiman dengan kasih tidak mempersalahkan sebelum ada alasan yang kuat dan tidak tergoda untuk melontarkan tuduhan-tuduhan keji yang tidak berperasaan. Penghakiman ini dilakukan dengan kasih yang bebas dari iri hati dan kebencian… Agar kasih yang percaya mampu bertahan di tengah konflik dan pertentangan yang melanda setiap hubungan antar manusia, kita perlu mengambil sikap praduga tidak bersalah, suatu kecapakan dalam mewujudkan penghakiman dengan kasih. Mengakui kebenaran berarti bahwa satu-satunya unsur penting bagi kasih yang langgeng adalah praktik penghakiman dengan kasih… Apabila kita membayangkan motif yang paling jelek di balik perbuatan orang yang menyakiti diri kita, berarti kita melakukan analisis kemungkinan terburuk. Kita bereaksi berlebihan, dengan berasumsi bahwa mereka memang berniat menyakiti kita separah itu. Namun kerap kali tidak demikian adanya… Kebalikannya adalah analisis kemungkinan terbaik. Di sini kita mengasumsikan motif terbaik yang mungkin ada di balik suatu perbuatan yang menyakitkan. Patut disayangkan bahwa kita biasanya menerapkan pemikiran kemungkinan terbaik ini hanya dalam pembelaan diri untuk kesalahan-kesalahan kita sendiri.

Kasih yang Langgeng

Kutipan oleh R. C. Sproul yang diambil dari buku “Mendambakan Makna Diri” (Surabaya: Momentum, 2005) halaman 48-9.

Kasih yang langgeng [adalah] jenis kasih yang telah diproses dalam cawan pemurnian melalui penderitaan dan kesesakan, dibangun di atas landasan batu karang kepercayaan. Kepercayaan adalah sesuatu yang mudah goyah, rapuh. Bisa dibutuhkan bertahun-tahun untuk memperkuatnya, dan beberapa menit saja sudah cukup untuk menghancurkannya. Jadi kasih yang langgeng harus sanggup menanggung kekecewaan dan perasaan diabaikan oleh orang-orang yang kita andalkan. Bukan berarti kepercayaan membabi buta yang timbul dari keluguan. Kita tahu bahwa manusia itu berdosa, dan karena itu kita tidak memandang pada dunia dan manusia melalui kacamata merah jambu yang membuat semuanya tampak indah.

Kasih Allah dalam Tindakan Aktif

Kutipan oleh R. C. Sproul yang diambil dari buku “Mendambakan Makna Diri” (Surabaya: Momentum, 2005) halaman 39-40.

Dalam persepsi alkitabiah, kasih lebih berfungsi sebagai kata kerja ketimbang sebagai kata benda. Kasih lebih terkait dengan berbuat daripada dengan perasaan; kasih didefinisikan oleh tindakan. Kasih mungkin atau mungkin juga tidak mencakup perasaan hangat dari kasih sayang. Bila ada kasih sayang, ini suatu bonus, namun kasih mampu berkarya tanpa perasaan itu… Kasih yang dituntut oleh Allah dari seorang suami terhadap isterinya mengambil contoh dari teladan tertinggi, yaitu kasih Kristus bagi jemaat-Nya (lihat Ef. 5:25). Kasih itu diwujudkan dalam bentuk konkret dalam berkorban untuk memberi. Karena itu, suami-suami terpanggil untuk ‘menyerahkan dirinya’ bagi isteri-isteri mereka. Dalam bahasa Inggris kuno, kata kasih diterjemahkan sebagai charity [yang juga berarti amal]. Di sini jelas tampak keterkaitan antara mengasihi dengan berkorban dalam memberi. Kasih Allah adalah kasih dalam perbuatan, kasih yang bekerja dalam tindakan-tindakan konkret. Kasih-Nya tidak statis, seperti allah dari Aristoteles yang dilukiskan sebagai ‘pemikiran ilahi yang berpikir dari dirinya sendiri.’ Kasih yang semata-mata pasif itu mematikan, bagaikan alat listrik pembunuh serangga yang memikat serangga malam dengan cahayanya lalu kemudian menyengatnya pada saat serangga itu menyentuhnya.

Kasih Allah tidak menutup diri, terisolasi layaknya dewa-dewa di Gunung Olympus yang terpencil – Ia turun dari awan-awan, membujuk dan mengejar umat-Nya, Ia datang ke lembah bayang-bayang maut, Ia mengunjungi rumah duka, Ia menambahkan suasana ceria dalam masa perayaan. Kasih yang hanya pasif adalah kasih yang mati, bahkan bukan kasih sama sekali melainkan sekadar menikmati perasaan hangat. Kasih belum lahir sebelum yang pasif menjadi aktif, perasaan berubah menjadi tindakan sementara hati menggerakkan kaki, melangkah menuju rumah sang kekasih.