Kutipan oleh Paul C. Vitz dalam buku “Psikologi sebagai Agama” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 191-2.
Depresi mungkin disebabkan oleh alasan psikologis, tetapi kasus-kasus depresi ini biasanya merupakan bentuk tersembunyi dari penyembahan diri. Hal ini pada awalnya mungkin tampak mengejutkan, tetapi dasar pemikirannya sebenarnya sederhana saja: depresi dan pikiran negatif tentang diri sendiri sering kali merupakan akibat dari agresi terhadap diri sendiri, yaitu agresi atau kebencian terhadap diri sendiri yang terjadi ketika seseorang gagal memenuhi standarnya sendiri yang tinggi untuk mencapai keberhasilan. Orang menjadi depresi karena gagal menikah, gagal mendapat promosi jabatan, gagal menjadi partner, gagal menjadi kaya, gagal diakui sebagai artis, dan sebagainya. Terdapat banyak kesombongan di balik keterikatan kita kepada standar yang gagal kita penuhi. Artinya, rasa percaya diri yang optimistis dan depresi yang pesimistis sering kali merupakan hasil tindakan diri sendiri yang secara prerogatif menciptakan standar-standar bagi rasa harga dirinya sendiri. Diri yang narsisistis ini kemudian menghakimi seberapa baik seseorang memenuhi standar itu. Ketika kita yang gagal memenuhinya, maka kita sendirilah yang menghukum diri kita. Tetapi di dalam pengajaran Kristen, nilai diri seseorang berasal dari Allah, bukan berdasarkan standar yang kita pilih sendiri. Terlebih lagi, seseorang tidak boleh menghakimi dirinya sendiri — apalagi orang lain. Penghakiman adalah hak Allah, dan jika kita menghakimi, itu berarti kita mengambil alih tempat Allah. (Sebuah teori psikologis yang murni sekuler tentang jenis membenci diri seperti ini beserta masalahnya dikembangkan oleh Karen Horney.)