Kutipan oleh Leon Morris dari buku “Injil Matius” (Surabaya: Momentum, 2016) halaman 1-2.
“Di dalam hal keagungan konsep dan kesanggupan mengelompokkan sejumlah besar materi ke dalam gagasan-gagasan utama, tidak ada kitab bertema sejarah, baik di Perjanjian Lama maupun Baru, yang bisa dibandingkan dengan Matius. Dalam hal ini, penulis bahkan menemui kesulitan di dalam mencari kitab kuno lain yang setara.” Melalui pernyataan ini, salah seorang penafsir penting abad XX menyatakan sebagian dari keagungan Injil pertama kita. Hal ini perlu diingat, khususnya saat kita melihat betapa jika dibandingkan dengan kitab-kitab Injil lain, Injil Matius telah diperlakukan secara tidak adil di dalam diskusi-diskusi modern. Injil Markus umumnya dilihat sebagai Injil terawal dan dianggap memiliki kesegaran yang perlu diperhatikan jika kita mau mencari informasi yang akurat tentang Yesus. Injil Lukas lebih penuh, dan keindahan tulisannya begitu mengagumkan sehinga E. Renan menyebutnya “buku terindah yang ada.” Injil Yohanes sangat berbeda dari ketiga Injil lain dan bersifat lebih theologis. Akibatnya, di zaman kita, Injil Matius kerap dipinggirkan. Untungnya pandangan seperti itu sekarang semakin dianggap ketinggalan zaman.
Mengecilkan Injil Matius adalah suatu kesalahan besar. Tak seorang pun boleh mengurangi anti penting Injil Matius yang di antaranya mencatat kisah masa kecil Tuhan Yesus, Khotbah di Bukit, dan koleksi perumpamaan yang kaya (banyak di antara perumpamaan ini hanya muncul di sini). Semua Injil menekankan kisah penderitaan Yesus (yang memunculkan pandangan bahwa semua Injil adalah kisah penderitaan dengan pengantar yang panjang), tetapi masing-masing menekankan kisah penderitaan ini secara unik. Meskipun Matius umumnya dianggap sangat bergantung pada Markus, Injilnya mencatat materi-materi yang tidak ditemukan di tempat lain (seperti tiga kali Yesus berdoa di Getsemani, keyakinan Yesus bahwa la bisa memanggil lebih dari dua belas pasukan malaikat, dan peristiwa Yudas bunuh diri). Penulis Injil Matius menyatakan secara gamblang bahwa kematian Yesus merupakan penggenapan rencana Allah; terkadang makna kematian ini bahkan dinyatakan secara eksplisit, seperti saat Matius berkata bahwa Yesus datang untuk menyerahkan nyawanya “menjadi tebusan bagi banyak orang” (20:28) atau saat melaporkan Yesus menyebut anggur Perjamuan Kudus sebagal “darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (26:28).
Kita tidak seharusnya mengabaikan fakta bahwa hampir di seluruh abad sejak berdirinya Gereja, Injil Matius telah dianggap sebagal Injil terpenting yang kita miliki. Di dalam manuskrip-manuskrip kuno, Matius diletakkan di urutan pertama dari keempat Injil dan di dalam pemakaian secara umum, Injil ini jelas dianggap sebagal Injil terpenting. R. T. France menulis, “Adalah fakta bahwa garis utama Kekristenan dari sejak awal abad kedua, sampal taraf tertentu merupakan Kekristenan ala Matius.” Kita tidak boleh menyamakan jemaat mula-mula dengan situasi kita hari ini; meskipun hanya ada sedikit penafsir hari ini yang mendukung penilaian jemaat mula-mula terhadap arti penting Injil Matius, kita tidak seharusnya mengecilkan kekuatan pertimbangan yang menghasilkan keputusan itu. Kontribusi Injil pertama bagi jemaat di sepanjang abad jangan diabaikan atau dikecilkan. Dan Injil ini masih memiliki banyak hal untuk dikatakan kepada jemaat hari ini.