Kutipan oleh R. C. Sproul yang diambil dari buku “Mendambakan Makna Diri” (Surabaya: Momentum, 2005) halaman 39-40.
Dalam persepsi alkitabiah, kasih lebih berfungsi sebagai kata kerja ketimbang sebagai kata benda. Kasih lebih terkait dengan berbuat daripada dengan perasaan; kasih didefinisikan oleh tindakan. Kasih mungkin atau mungkin juga tidak mencakup perasaan hangat dari kasih sayang. Bila ada kasih sayang, ini suatu bonus, namun kasih mampu berkarya tanpa perasaan itu… Kasih yang dituntut oleh Allah dari seorang suami terhadap isterinya mengambil contoh dari teladan tertinggi, yaitu kasih Kristus bagi jemaat-Nya (lihat Ef. 5:25). Kasih itu diwujudkan dalam bentuk konkret dalam berkorban untuk memberi. Karena itu, suami-suami terpanggil untuk ‘menyerahkan dirinya’ bagi isteri-isteri mereka. Dalam bahasa Inggris kuno, kata kasih diterjemahkan sebagai charity [yang juga berarti amal]. Di sini jelas tampak keterkaitan antara mengasihi dengan berkorban dalam memberi. Kasih Allah adalah kasih dalam perbuatan, kasih yang bekerja dalam tindakan-tindakan konkret. Kasih-Nya tidak statis, seperti allah dari Aristoteles yang dilukiskan sebagai ‘pemikiran ilahi yang berpikir dari dirinya sendiri.’ Kasih yang semata-mata pasif itu mematikan, bagaikan alat listrik pembunuh serangga yang memikat serangga malam dengan cahayanya lalu kemudian menyengatnya pada saat serangga itu menyentuhnya.
Kasih Allah tidak menutup diri, terisolasi layaknya dewa-dewa di Gunung Olympus yang terpencil – Ia turun dari awan-awan, membujuk dan mengejar umat-Nya, Ia datang ke lembah bayang-bayang maut, Ia mengunjungi rumah duka, Ia menambahkan suasana ceria dalam masa perayaan. Kasih yang hanya pasif adalah kasih yang mati, bahkan bukan kasih sama sekali melainkan sekadar menikmati perasaan hangat. Kasih belum lahir sebelum yang pasif menjadi aktif, perasaan berubah menjadi tindakan sementara hati menggerakkan kaki, melangkah menuju rumah sang kekasih.