Keyahudian Injil Matius

Kutipan oleh Leon Morris dari buku “Injil Matius” (Surabaya: Momentum, 2016) halaman 2-3.

Di sepanjang Injil Matius, penulis menunjukkan bahwa Kekristenan merupakan kelanjutan yang sejati dari Perjanjian Lama – Yudaisme yang sejati, jlka kita mau menyebutnya demikian. Penulis jelas seorang Yahudi yang berpengetahuan, akrab dengan jenis pengajaran yang kita temukan di dalam Misnah dan Talmud dan menurut beberapa penafsir, penulis tidak anti terhadap pemakaian Midras. Penulis tidak merasa perlu menjelaskan budaya-budaya Yahudi (bdk. 15:1-9 dengan Mrk. 7:1-13). Silsilah Yesus dimulai dari Abraham, leluhur agung Yahudi (1:1-2). Hanya ia yang mencatat Yesus diutus “hanya kepada domba yang hilang dari umat Israel” (15:24; bdk. 10:5-6). Ia menulis tentang pokok-pokok yang akan menarik perhatian orang Yahudi. seperti Sabat (12:1- 14) dan pajak Bait Allah (17:24-27). Tentu saja penulis tidak selalu berpihak pada orang Yahudi. Ada beberapa kritik keras, khususnya di pasal 23, dan penulis juga memakai ungkapan seperti ahli-ahli Taurat “mereka” (7:29), atau rumah ibadah “mereka” (9:35), yang memisahkan penulis dari para pemimpin resmi Yudaisme.

Tetapi yang terutama, penulis adalah seorang pengikut Yesus yang sejati, seorang Yahudi yang percaya. Penekanan terhadap penggenapan nubuat-nubuat Perjanjian Lama menjadi contoh mencolok keyahudiannya. Ia memiliki rumusan “Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi.” yang telah kita jumpai sejak 1:22 dan muncul berulang kali di sepanjang Injil ini. The Greek New Testament (edisi ke-3) keluaran United Bible Societies mendaftarkan 61 kutipan Perjanjian Lama di Injil Matius, bandingkan dengan 31 kutipan di Markus, 26 di Lukas, dan 16 di Yohanes. Penulis jelas memiliki ketertarikan khusus terhadap apa yang Kitab Suci Perjanjian Lama katakan dan bagaimana hal ini terkait dengan Yesus. Selain jumlah kutipan, cara kutipan-kutipan itu dipakai juga penting. Di sepanjang Injil ini Matius mau menunjukkan Allah sedang menggenapi maksud-Nya dan salah satu cara mengenali maksud Allah adalah dengan memperhatikan, bagaimana hal-hal yang Allah inspirasikan melalui para nabi-Nya telah tergenapi di dalam hidup dan pengajaran Yesus. Injil Matius berakhir dengan mandat agung untuk memuridkan segala bangsa (28:16-20). Matius berlatar belakang Yahudi dan sangat tertarik dengan orang Yahudi, tetapi ia juga tertarik pada relevansi Yesus bagi segala bangsa.

Benarkah Injil Matius itu Penting?

Kutipan oleh Leon Morris dari buku “Injil Matius” (Surabaya: Momentum, 2016) halaman 1-2.

“Di dalam hal keagungan konsep dan kesanggupan mengelompokkan sejumlah besar materi ke dalam gagasan-gagasan utama, tidak ada kitab bertema sejarah, baik di Perjanjian Lama maupun Baru, yang bisa dibandingkan dengan Matius. Dalam hal ini, penulis bahkan menemui kesulitan di dalam mencari kitab kuno lain yang setara.” Melalui pernyataan ini, salah seorang penafsir penting abad XX menyatakan sebagian dari keagungan Injil pertama kita. Hal ini perlu diingat, khususnya saat kita melihat betapa jika dibandingkan dengan kitab-kitab Injil lain, Injil Matius telah diperlakukan secara tidak adil di dalam diskusi-diskusi modern. Injil Markus umumnya dilihat sebagai Injil terawal dan dianggap memiliki kesegaran yang perlu diperhatikan jika kita mau mencari informasi yang akurat tentang Yesus. Injil Lukas lebih penuh, dan keindahan tulisannya begitu mengagumkan sehinga E. Renan menyebutnya “buku terindah yang ada.” Injil Yohanes sangat berbeda dari ketiga Injil lain dan bersifat lebih theologis. Akibatnya, di zaman kita, Injil Matius kerap dipinggirkan. Untungnya pandangan seperti itu sekarang semakin dianggap ketinggalan zaman.

Mengecilkan Injil Matius adalah suatu kesalahan besar. Tak seorang pun boleh mengurangi anti penting Injil Matius yang di antaranya mencatat kisah masa kecil Tuhan Yesus, Khotbah di Bukit, dan koleksi perumpamaan yang kaya (banyak di antara perumpamaan ini hanya muncul di sini). Semua Injil menekankan kisah penderitaan Yesus (yang memunculkan pandangan bahwa semua Injil adalah kisah penderitaan dengan pengantar yang panjang), tetapi masing-masing menekankan kisah penderitaan ini secara unik. Meskipun Matius umumnya dianggap sangat bergantung pada Markus, Injilnya mencatat materi-materi yang tidak ditemukan di tempat lain (seperti tiga kali Yesus berdoa di Getsemani, keyakinan Yesus bahwa la bisa memanggil lebih dari dua belas pasukan malaikat, dan peristiwa Yudas bunuh diri). Penulis Injil Matius menyatakan secara gamblang bahwa kematian Yesus merupakan penggenapan rencana Allah; terkadang makna kematian ini bahkan dinyatakan secara eksplisit, seperti saat Matius berkata bahwa Yesus datang untuk menyerahkan nyawanya “menjadi tebusan bagi banyak orang” (20:28) atau saat melaporkan Yesus menyebut anggur Perjamuan Kudus sebagal “darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (26:28).

Kita tidak seharusnya mengabaikan fakta bahwa hampir di seluruh abad sejak berdirinya Gereja, Injil Matius telah dianggap sebagal Injil terpenting yang kita miliki. Di dalam manuskrip-manuskrip kuno, Matius diletakkan di urutan pertama dari keempat Injil dan di dalam pemakaian secara umum, Injil ini jelas dianggap sebagal Injil terpenting. R. T. France menulis, “Adalah fakta bahwa garis utama Kekristenan dari sejak awal abad kedua, sampal taraf tertentu merupakan Kekristenan ala Matius.” Kita tidak boleh menyamakan jemaat mula-mula dengan situasi kita hari ini; meskipun hanya ada sedikit penafsir hari ini yang mendukung penilaian jemaat mula-mula terhadap arti penting Injil Matius, kita tidak seharusnya mengecilkan kekuatan pertimbangan yang menghasilkan keputusan itu. Kontribusi Injil pertama bagi jemaat di sepanjang abad jangan diabaikan atau dikecilkan. Dan Injil ini masih memiliki banyak hal untuk dikatakan kepada jemaat hari ini.

Berdoa Tiada Henti

Kutipan oleh Stephen Tong dalam buku “Pengudusan Emosi” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 36-37.

Mungkinkah seorang Kristen berdoa tiada henti? Kalau benar, apakah itu berarti kita tidak tidur atau tidak makan? Bukan demikian. Justru doa itu bukan berarti kita tutup mata, lipat tangan, lalu berlutut. Itu hanyalah salah satu cara atau postur atau sikap berdoa. Yang disebut doa sebenarnya adalah sinkronisasi kehendak kita dengan kehendak Tuhan. Sinkronisasi kehendak kita dengan kehendak Tuhan berarti apa yang kita kehendaki harus disesuaikan dengan apa yang menjadi kehendak Allah. Pada saat kita menghendaki sesuatu yang sesuai dengan kehendak Allah yang kekal, itulah saat kita berdoa. Yang disebut sebagai doa yang terus-menerus (unceasing prayer) adalah sikap di mana jiwa kita berusaha untuk terus sinkron dengan kehendak Allah yang kekal. Apa yang Allah tetapkan di dalam kekekalan, apa yang Tuhan kehendaki di dalam sifat ilahi-Nya, itu juga yang menjadi keinginan dan tekad kerinduan kita. Itulah sinkronisasi kehendak kita dengan kehendak Allah. Itulah doa yang terus-menerus. Di dalam doa kita menaklukkan diri ke dalam kedaulatan Allah. Di dalam doa kita mensinkronisasikan rencana kita dengan rencana Allah. Di dalam doa kita membicarakan apa yang kita inginkan di hadapan Tuhan yang mahakuasa. Doa adalah pengakuan akan kerendahan kita dan kedaulatan Allah. Doa merupakan pengakuan bahwa kita membutuhkan Dia sebagai Pemberi Anugerah. Doa juga mengaku bahwa kita tidak mungkin menjadi sempurna tanpa pertolongan dari atas. Semua ini merupakan prinsip-prinsip theologi doa yang harus kita pahami. Doa yang tidak henti-hentinya, dikatakan oleh Billy Graham sebagai, “the prayer in the subconscious” (doa di dalam bawah sadar kita). Itu berarti secara sadar kita sedang mengerjakan segala sesuatu, tetapi di bawah sadar, di dalam hati kita yang terdalam, kita terus-menerus minta pertolongan Tuhan.

Pertobatan yang Sejati dan Kesedihan yang Kudus (2)

Kutipan oleh Stephen Tong dalam buku “Pengudusan Emosi” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 16.

Kita bisa sangat sedih karena uang kita hilang, atau kita sedih karena kita ditipu atau dirugikan. Tetapi anehnya, hanya sedikit orang yang sedih ketika uang orang lain hilang, atau kita tidak sedih kalau kita merugikan orang lain. Jadi kita harus membedakan kesedihan karena kerugian, dan kesedihan karena dosa. Jadi, pertobatan yang sejati dari Tuhan adalah kesedihan bukan karena kita takut dihukum, tetapi karena kita tahu bahwa kita telah berbuat salah melanggar hukum Tuhan Allah, dan telah mempermalukan nama Tuhan. Pada saat itu, Roh Kudus menyadarkan kita bahwa kita tidak boleh mempermalukan nama Tuhan dan Roh Kudus menegur kita, sehingga kita bertobat. Inilah kesedihan yang kudus. Kesedihan yang kudus membawa manusia kepada pertobatan.

Itu sebabnya, Theologi Reformed begitu mendalam dalam mengungkap sesuatu, karena mereka telah melihat sampai ke inti Firman Tuhan sedalam-dalamnya. Tanpa kelahiran kembali, tanpa emosi yang dikuduskan oleh Tuhan, tidak ada orang yang mengerti apa itu pertobatan. Jangan kamu menerima Theologi Reformed hanya ikut-ikutan, apalagi ikut-ikut saya, tanpa mengerti apa itu Theologi Reformed yang sesungguhnya. Kita perlu belajar dan mengerti dengan mendalam, sehingga iman dan pengertian kita akan Firman Tuhan dipertumbuhkan.

Pertobatan yang Sejati dan Kesedihan yang Kudus

Kutipan oleh Stephen Tong dalam buku “Pengudusan Emosi” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 15.

Pertobatan yang sejati adalah pekerjaan Roh Kudus di dalam hati manusia yang membuat kita sadar bahwa kita sudah melukai hati Tuhan. Pertobatan adalah karena Tuhan membuat kita sadar bahwa kita telah menyakiti dan menyedihkan hati Tuhan. Pertobatan sejati adalah akibat pekerjaan Roh Kudus, bukan suatu penyesalan karena harus menerima hukuman.

Jika kesalahan yang mendatangkan hukuman itu mendatangkan ketakutan, itu bukanlah pertobatan. Itu merupakan suatu normalisasi fungsi hati nurani. Pada saat kedua anak Harun dihanguskan oleh api Tuhan, hari itu adalah hari di mana kedua anak itu baru saja dilantik sebagai imam untuk melayani bait Allah. Pada hari itu, mereka begitu ceroboh, menggunakan api biasa untuk mempersembahkan korban. Peristiwa itu telah membuat Tuhan Allah marah dan menghanguskan kedua anak laki-laki itu. Bayangkan jika kedua anak lelaki kita pada suatu hari ditahbiskan menjadi pendeta, dan pada hari pelantikan itu, Tuhan menurunkan api dari sorga untuk menghanguskan kedua anak tersebut, tentu kita bisa membayangkan perasaan hati kita saat itu. Itulah yang dirasakan oleh Harun. Itu suatu musibah dan aib yang besar, suatu perasaan malu yang luar biasa. Tetapi melalui Musa Tuhan berkata kepada Harun: “Janganlah bersedih akan kematian mereka, tetapi bersedihlah karena dosa mereka” (Im. 10:6 dst.). Inilah pertama kalinya Alkitab dengan tajam membedakan antara kesedihan yang kudus dan kesedihan yang tidak kudus.