Pengenalan akan Allah Membawa kepada Pengudusan

Kutipan oleh James Montgomery Boice dalam buku “Dasar-Dasar Iman Kristen” (Surabaya: Momentum, 2011), halaman 12.

Pengenalan akan Allah membawa kepada kekudusan. Mengenal Allah sebagai adanya Dia, berarti mengasihi Dia sebagai adanya Dia dan ingin menjadi seperti Dia. Ini adalah berita dari salah satu ayat paling penting dalam Alkitab tentang pengenalan akan Allah. Yeremia, nabi Israel itu, menulis, “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya; janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan, dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN” (Yer. 9:23-24). Yeremia juga menulis tentang suatu hari di mana orang-orang yang tidak mengenal Allah akan mengenal Dia. “Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan; Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN; sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka, dan tidak lagi mengingat dosa mereka” (Yer. 31:34).

Depresi sebagai Sebuah Bentuk Penyembahan Diri

Kutipan oleh Paul C. Vitz dalam buku “Psikologi sebagai Agama” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 191-2.

Depresi mungkin disebabkan oleh alasan psikologis, tetapi kasus-kasus depresi ini biasanya merupakan bentuk tersembunyi dari penyembahan diri. Hal ini pada awalnya mungkin tampak mengejutkan, tetapi dasar pemikirannya sebenarnya sederhana saja: depresi dan pikiran negatif tentang diri sendiri sering kali merupakan akibat dari agresi terhadap diri sendiri, yaitu agresi atau kebencian terhadap diri sendiri yang terjadi ketika seseorang gagal memenuhi standarnya sendiri yang tinggi untuk mencapai keberhasilan. Orang menjadi depresi karena gagal menikah, gagal mendapat promosi jabatan, gagal menjadi partner, gagal menjadi kaya, gagal diakui sebagai artis, dan sebagainya. Terdapat banyak kesombongan di balik keterikatan kita kepada standar yang gagal kita penuhi. Artinya, rasa percaya diri yang optimistis dan depresi yang pesimistis sering kali merupakan hasil tindakan diri sendiri yang secara prerogatif menciptakan standar-standar bagi rasa harga dirinya sendiri. Diri yang narsisistis ini kemudian menghakimi seberapa baik seseorang memenuhi standar itu. Ketika kita yang gagal memenuhinya, maka kita sendirilah yang menghukum diri kita. Tetapi di dalam pengajaran Kristen, nilai diri seseorang berasal dari Allah, bukan berdasarkan standar yang kita pilih sendiri. Terlebih lagi, seseorang tidak boleh menghakimi dirinya sendiri — apalagi orang lain. Penghakiman adalah hak Allah, dan jika kita menghakimi, itu berarti kita mengambil alih tempat Allah. (Sebuah teori psikologis yang murni sekuler tentang jenis membenci diri seperti ini beserta masalahnya dikembangkan oleh Karen Horney.)

Keindahan Allah dalam Hukum-Hukum Ilmiah

Kutipan oleh Vern. S. Poythress dalam buku “Menebus Sains” (Surabaya: Momentum, 2013), hal. 14.

Hukum-hukum ilmiah, khususnya hukum-hukum yang “dalam,” adalah indah. Para ilmuwan telah lama menyelidiki kemungkinan-kemungkinan hipotesis dan model atas dasar kriteria keindahan dan kesederhanaan. Misalnya, hukum gravitasi Newton dan hukum-hukum elektromagnetisme Maxwell secara matematis adalah sederhana dan indah. Dan para ilmuwan dengan jelas mengharapkan hukum-hukum yang baru, dan juga hukum-hukum yang lama, untuk menunjukkan keindahan dan kesederhanaan. Mengapa? Keindahan hukum-hukum ilmiah menunjukkan keindahan Allah sendiri. Walaupun keindahan belum menjadi sebuah topik favorit dalam eksposisi klasik mengenai doktrin Allah, Alkitab menunjukkan kepada kita sesosok Allah yang sangat indah. Dia menyatakan diri-Nya dalam keindahan di dalam rancangan tabernakel, puisi Mazmur, dan keelokan perumpamaan Kristus, dan juga keindahan moral dari kehidupan Kristus.

Keindahan Allah sendiri terpancar dalam apa yang telah Dia ciptakan. Kita lebih terbiasa untuk melihat keindahan pada objek-objek tertentu dalam ciptaan, seperti seekor kupu-kupu, atau sebuah gunung yang tinggi, atau suatu padang rumput yang ditutupi bunga-bunga. Tetapi keindahan juga ditunjukkan dalam bentuk yang sederhana dan elok dari beberapa hukum-hukum fisika yang paling dasar, seperti hukum Newton mengenai gaya, F = ma, atau formula Einstein mengenai massa dan energi, E = mc^2. Mengapa hukum-hukum yang begitu elok harus ada? Keindahan juga ditunjukkan dalam keharmonisan di antara bidang-bidang sains, dan keharmonisan antara matematika dan sains yang diandalkan para ilmuwan kapanpun mereka menggunakan sebuah formula matematis untuk menjelaskan sebuah proses fisika.

Kesombongan dan Iri Hati Adam

Kutipan oleh G. J. Baan dari buku “TULIP” (Surabaya: Momentum, 2012), hal. 13.

Apa sebenarnya dosa Adam itu? Secara sederhana, Adam berdosa karena memakan buah dari sebuah pohon, meskipun Allah telah melarang dia untuk memakannya. Pada waktu kita membandingkan dosa ini dengan hukuman berat yang ditimpakan karenanya, kita mungkin berpikir bahwa dosa yang satu ini dihukum dengan terlalu berat, jika melihat kejahatan seperti apa yang sudah dilakukan. Namun demikian, dosa yang satu ini mencakup seluruh rangkaian dosa lain. Marilah kita pertama-tama membahas dua dosa yang bersifat “umum.”

Pertama, dosa memakan buah terlarang merupakan pertanda kesombongan. Ini juga yang dikatakan Iblis kepada Adam. Dengan kesombongan ini, ia menggerakkan Adam untuk berbuat dosa. Adam ingin menjadi seperti Allah dan tidak mengakui adanya Allah lain di atas dirinya. Ini menandakan ciri-ciri manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa: ia tidak mau mengakui suatu Allah yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Kesombongan sudah mendarah daging dalam diri kita.

Kedua, kita dapat memandang dosa ini sebagai dosa iri hati. Manusia iri kepada Allah karena Ia tahu apa yang baik dan apa yang jahat, dan manusia pun ingin mengetahui hal itu. Ini tidak hanya berlaku dalam hal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat tetapi juga dalam hal-hal lain yang diketahui Allah dan tidak diketahui manusia. Iri hati ini berhubungan sangat dekat dengan kesombongan. Sebagai akibatnya, setiap hari kita melakukan banyak dosa lain. Terlebih lagi, kesombongan adalah akar dari banyak kejahatan. Selanjutnya, dosa Adam dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap Sepuluh Perintah, tanpa kecuali, yang telah diberikan oleh Allah di dalam hukum-Nya.

Benarkah Sebutan “Kita” Merujuk kepada Allah Tritunggal?

Kutipan Stephen Tong dari buku “Hati yang Terbakar” (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 41.

Ada bantahan yang mengatakan bahwa hal itu [penggunaan kata “Kita” dalam Kejadian 1:26] merupakan sesuatu yang umum dalam pembentukan bahasa-bahasa di Timur Tengah. Pada waktu mereka menyebut dewa atau ilah mereka, mereka juga tidak pernah memakai bentuk tunggal, melainkan bentuk jamak, sebagai indikasi yang menunjukkan penghormatan mereka terhadap yang harus lebih dihormati daripada manusia, yaitu dewa atau ilah mereka. (Di daerah-daerah tertentu di Indonesia, penggunaan kata kita atau kami juga sering dipakai sebagai kata ganti orang dalam pengertian tunggal.) Hal ini memang benar, namun bukan berarti kita bisa menyangkal bahwa Allah telah menyatakan diri dengan cara yang berbeda dari cara bangsa-bangsa lain dalam menyebut dewa-dewa mereka. Lagi pula, kebiasaan menyebutkan dewa atau ilah mereka dengan bentuk jamak ini baru muncul jauh sesudah Kitab Kejadian dituliskan melalui Musa.