Mengenal Allah sebagai Titik Tolak dari Segala Hikmat

Kutipan oleh Stephen Tong dari buku “Hati yang Terbakar” Vol. 1A (Surabaya: Momentum, 2014), hal. 6.

Adakah yang lebih penting daripada pengertian mengenai Allah? Adakah yang lebih berharga daripada pengenalan akan Allah? Mungkinkah seseorang menjadi manusia yang baik tanpa mengenal Allah? Dapatkah pemerintah suatu bangsa memerintah dengan baik tanpa pengertian akan Allah yang benar?

Augustinus, seorang bapa Gereja, pernah berkata, “Jikalau aku ditanya, ‘Apakah yang ingin kuketahui dalam dunia ini?’, maka aku akan menjawab, ‘Hanya dua hal yang ingin aku ketahui sedalam-dalamnya seumur hidupku, yang pertama, mengenal Allah, dan yang kedua, mengenal jiwa manusia.’ Dan jika aku ditanya lagi, ‘Adakah hal lain yang ingin kauketahui?’, maka aku akan menjawab, ‘Tidak ada, bahkan mutlak tidak ada lagi hal lain yang ingin aku ketahui.’ Aku ingin mengenal Allah, mengenal siapakah Dia?”

Pengenalan akan Allah ini begitu penting, karena: pertama, pengenalan akan Allah merupakan titik tolak bagi hikmat yang sejati. Pengenalan akan Allah menjadi dasar dari segala kepandaian di dalam dunia ini (bdk. Amsal 1:7; Mazmur 111:10). Kedua, pengenalan akan Allah muncul dari keinginan jiwa. Tetapi mengapa jiwa mempunyai keinginan seperti ini? Karena jiwa kita diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Kalau demikian, siapakah aku? Aku mau mengenal diriku sendiri, mengenal jiwaku. Maka, mengenal Allah dan mengenal jiwa terkait satu dengan yang lain. Melalui pengenalan akan Allah, jiwa kita mempunyai suatu dasar, arah, prinsip hidup, dan hikmat yang sesungguhnya. Pengenalan akan Allah dan takut akan Allah merupakan suatu pangkal atau titik tolak dari segala kepandaian dan hikmat.

Injil adalah Kekuatan Allah

Injil adalah kekuatan Allah. Ini merupakan paradoks karena kekuatan Injil justru dinyatakan dalam kelemahan: Yesus Kristus yang tersalib. Dalam persepsi orang Yahudi, kekuatan Tuhan yang sesungguhnya itu dinyatakan ketika Mesias datang dan membebaskan bangsa mereka dari penindasan bangsa Romawi. Persepsi semacam ini mirip dengan persepsi manusia zaman sekarang yang terus mengharapkan mujizat sebagai demonstrasi kekuatan Allah. Sebaliknya, Injil menyatakan kekuatan Allah dalam versi yang sama sekali berbeda. Justru dalam keadaan yang sangat lemah di atas kayu salib, Yesus Kristus menyatakan kekuatan Allah. Ketika dicaci-maki, Ia tidak membalas; ketika orang-orang mengutuki-Nya, Ia justru memberkati dan mengampuni mereka. Inilah kekuatan Allah yang tidak dapat dimengerti oleh dunia.

Kekuatan Allah melenyapkan kelemahan manusia. Sepanjang hidup Yesus Kristus, Ia melakukan pelayanan yang mengangkat kelemahan manusia. Inilah konteks yang benar dari pelayanan yang disertai dengan mujizat. Kekuatan Allah dinyatakan saat Yesus digerakkan oleh belas kasihan terhadap kelemahan manusia. Mujizat dalam konteks kekuatan Allah adalah kekuatan Allah dalam mengekspresikan kasih-Nya yang besar atas manusia yang lemah.

Kekuatan Allah sekaligus menelanjangi kekuatan manusia. Di atas kayu salib, Tuhan Yesus menyatakan kekuatan di dalam kelemahan-Nya. Di situ Ia sepertinya ditelanjangi, padahal sebenarnya yang ditelanjangi ialah kita, orang berdosa. Ini adalah suatu paradoks. Tuhan Yesus dipermalukan, tetapi sebenarnya yang dipermalukan adalah diri kita yang sangat bobrok. Ketika Ia mengatakan kalimat-kalimat pengampunan, kita melihat diri kita yang sering kali tidak sanggup mengampuni mereka yang bersalah kepada kita. Kita melihat diri kita yang tidak sanggup memberkati orang lain yang mencaci maki kita. Di atas kayu salib satu per satu kebobrokan dan kerapuhan kita dibongkar.

Menghormati Pelayan-Pelayan Allah

Kutipan oleh Billy Kristanto dari buku “Ajarlah Kami Bertumbuh” (Surabaya: Momentum, 2011) halaman 11.

Menghormati hamba Tuhan tertentu dan mengakui bahwa Tuhan memakainya untuk mendidik kita tentu tidak ada salahnya. Bahkan Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa Bapa menghormati mereka yang melayani Dia [Yesus Kristus] (Yoh. 12:26). Jika Allah menghormati orang yang sedemikian, apakah kita tidak boleh menghormati mereka? Bukankah kita harus belajar menghormati orang yang dihormati oleh Allah? Sebenarnya, baik Paulus, Apolos, maupun Petrus harus dihormati oleh jemaat Korintus. Tetapi sayangnya mereka hanya menghormati hamba Tuhan tertentu. Lebih dari itu, sebagian orang dengan congkaknya tidak mau menghormati siapa pun karena mereka berpikir hanya perlu menghormati Kristus. Ini merupakan pandangan yang sangat keliru dan sempit. Dari bagian ini kita melihat bahwa mereka yang mengaku sebagai golongan Kristus sedang menghina hamba-hamba Tuhan, baik Paulus, Apolos, maupun Petrus. Ada dua hal yang ekstrem di sini. Pertama:terlalu mengagung-agungkan kebesaran manusia sehingga tidak melihat kebesaran Tuhan. Kedua: tidak mau menghormati siapa pun kecuali Kristus, sementara Allah sendiri menghormati para pelayan-Nya.

Menanggapi Pujian dan Kritik dengan Tepat

Kutipan oleh Billy Kristanto dari buku “Ajarlah Kami Bertumbuh” (Surabaya: Momentum, 2011) halaman 10.

Ada banyak pelayan Tuhan yang terjebak dalam pujian, lalu menjadi lupa diri, dan akhirnya Tuhan tidak lagi berkenan memakai mereka. Orang yang tenggelam dalam pujian juga akan tenggelam dalam kritik. Pujian dan kritik adalah dua sisi yang berbeda dari satu keping koin. Sebaliknya, orang yang bisa menerima pujian dan mengembalikannya kepada Tuhan, juga mampu menerima kritik untuk mengintrospeksi diri. Paulus mengalami keduanya – selain ada yang memuji dan mengagumi, pasti ada juga yang mengkritik. Bernard of Clairvaux, seorang penulis spiritual dari Abad Pertengahan, dalam salah satu suratnya kepada seorang muridnya yang suka memuji dia, menyatakan kegelisahannya karena ia sadar bahwa berdasarkan naturnya yang lemah, manusia begitu rentan terhadap pujian. Paulus menerapkan perkataan yang keras pada dirinya sendiri; ia menyatakan bahwa ia tidak disalibkan bagi jemaat Korintus, dan bahwa mereka juga tidak dibaptis dalam namanya. Dengan bersikap seperti ini Paulus memelihara diri dari kejatuhan yang tidak perlu.

Manusia sebagai Makhluk yang Menilai

“Tetapi aku menasihatkan kamu demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir” (1 Kor. 1:10). Di salah satu terjemahan Inggris dikatakan, “that you be united in the same mind and same judgment” [terjemahan bebas: supaya kamu memiliki persatuan dalam cara pikir dan penilaian – ed.] Orang bukannya tidak boleh menilai, karena kita memang diciptakan dengan konsep nilai. Orang yang tidak pernah menilai mungkin adalah orang yang naif dan tidak berpengertian. Tuhan memberikan kepada manusia kapasitas untuk menilai, bahkan firman Tuhan memerintahkan kita untuk menguji segala sesuatu. Kalau kita tidak melakukan pengujian, justru kita yang bersalah. Akan tetapi yang menjadi persoalan di dalam jemaat Korintus ialah setiap orang membuat penilaian berdasarkan diri mereka sendiri. Penilaian dari manusia yang berbeda-beda akhirnya merusak kesatuan tubuh Kristus. Masing-masing menganggap diri mereka yang paling benar. Sebagian jemaat menganggap diri mereka mengikuti Paulus, sebagian lainnya menganggap mengikuti Apolos, yang lainnya lagi menganggap diri mereka mengikuti Petrus atau Kefas, dan yang paling congkak menganggap diri mereka dari golongan Kristus.