Karya Allah dan Tanggung Jawab Manusia di dalam Keselamatan

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 3-4.

Karena manusia pada naturnya mati di dalam dosa, maka Allah harus menghidupkan mereka; regenerasi di dalam pengertian yang sempit secara eksklusif merupakan karya Allah. Tetapi di dalam aspek-aspek lain dari proses keselamatan di luar regenerasi, Allah maupun orang-orang percaya terlibat di dalamnya – dalam pengertian ini kita dapat berbicara mengenai keselamatan sebagai karya Allah dan juga sebagai tugas kita. Kadang-kadang aspek-aspek ini – pertobatan, iman, pengudusan, ketekunan, dan sebagainya – digambarkan sebagai karya Allah yang di dalamnya orang-orang percaya turut bekerja. Namun, cara pengungkapan seperti ini mengakibatkan munculnya kesan bahwa Allah dan kita masing-masing mengerjakan sebagian tugas. Karena itu, lebih baik jika dikatakan bahwa di dalam aspek-aspek keselamatan kita ini (selain regenerasi), Allah berkarya dan kita berkarya. Pengudusan kita, misalnya, pada saat yang sama adalah seratus persen karya Allah tetapi juga seratus persen karya kita. Paulus memberikan pernyataan klasik mengenai ‘kejadian yang misterius’ dari karya Allah maupun kita ini di dalam Filipi 2:12-13, ‘Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar,… karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.

Pertumbuhan Iman Wajib Dialami Semua Orang Percaya

Kutipan oleh Jerry Bridges dari buku “Tumbuhkan Imanmu” (Bandung: Pionir Jaya, 2013) halaman 11-2.

Pertumbuhan adalan ekspresi normal dari kehidupan. Baik tanaman, binatang, maupun manusia, kita berharap mereka bisa bertumbuh hingga dewasa. Ketika sesuatu atau seseorang tidak bertumbuh, kita tahu ada sesuatu yang salah. Pertumbuhan juga merupakan ekspresi normal dari kehidupan Kristiani. Para penulis Perjanjian Baru menekankan pertumbuhan, dan terus-menerus mendorong kita untuk mengejarnya. Petrus mendesak kita untuk ‘bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus’ (2 Petrus 3:18). Paulus mengajarkan kita: ‘dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala’ (Efesus 4:15). Bahkan, berbeda dengan pertumbuhan fisik, orang Kristen tidak pernah boleh berhenti bertumbuh secara rohani. Paulus memuji jemaat Tesalonika karena mereka selalu ingin menyenangkan Tuhan dan mengasihi sesama. Untuk kedua hal ini, Paulus mendesak mereka untuk melakukannya ‘lebih dan lebih lagi’ (1 Tesalonika 4:1, 10). Dia ingin mereka terus bertumbuh dalam berbagai aspek hidup Kristiani. Tidak ada istilah ‘orang Kristen dewasa’ yang tidak perlu lagi bertumbuh. Pertumbuhan tidak hanya normal bagi orang-orang yang baru bertobat, tetapi juga bagi mereka yang telah berjalan bersama Tuhan selama lima puluh tahun atau lebih. Tentu saja hampir semua pertumbuhan, baik fisik maupun spiritual, berlangsung secara bertahap. Kita tidak bisa menyaksikan langsung sebuah tanaman atau seseorang bertumbuh di depan mata kita. Kita hanya bisa mengamatinya dari waktu ke waktu. Hal ini juga berlaku bagi kehidupan orang Kristen. Tentu saja setiap orang bertumbuh dengan kecepatan yang berbeda. Tak seorang pun dari kita yang bertumbuh dengan kecepatan yang sama sepanjang waktu. Namun, meskipun pertumbuhan dan area pertumbuhan setiap orang berbeda, kita semua tetap harus bertumbuh secara rohani. Ketika seorang Kristen tidak bertumbuh, ada sesuatu yang salah!

Allah yang Memberikan Panggilan bagi Setiap Orang Percaya

Kutipan oleh Ravi Zacharias dari buku “Sang Penenun Agung” (Bandung: Pionir Jaya, 2013) halaman 12.

Saya percaya Allah campur tangan dalam kehidupan setiap kita. Ia berbicara kepada kita dengan berbagai cara dan waktu agar kita tahu bahwa Dialah yang menciptakan kepribadian kita. Ia ingin agar kita tahu bahwa Ia mempunyai panggilan bagi setiap kita, yang dirancang untuk memenuhi keunikan setiap pribadi. Itu sebabnya Yohanes dan Petrus dan sejumlah orang lainnya pada akhirnya rela mati, saat mereka mencari kuasa dan kehadiran Allah dalam keadaan jiwa yang paling kelam. Saya bahkan percaya Tuhan lebih peduli pada kehidupan kita daripada yang kita pikirkan. Kita mungkin tidak memahami sepenuhnya apa yang Ia rancangkan sambil itu terjadi, tetapi kita tidak seharusnya menyimpulkan bahwa rancangan-Nya tidak mempunyai arahan.

Bersuka dalam Firman Allah

Kutipan oleh D. A. Carson yang diambil dari buku “Kasih di Tempat-Tempat yang Sulit” halaman 25.

Mazmur 1… menggambarkan orang yang “diberkati” sebagai seorang yang “kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam” (Mzm. 1:2). Dengan perkataan lain, dia bukan hanya sekadar berkomitmen kepada firman Allah secara teoretis, tetapi dia secara positif bersuka di dalamnya – begitu bersuka sehingga dia memikirkannya, mengingatnya dalam pikirannya, merenungkannya siang dan malam. Ringkasnya, ia mengasihi Allah dengan segenap hati dan jiwa dan akal budi dan kekuatan. Mazmur terpanjang dalam Kitab Suci diberikan untuk menguraikan tema yang membentuk dunia dan mentransformasi manusia ini (Mzm. 119). Maka, tidak terlalu mengejutkan lagi bahwa ketika Yosua berkuasa, dia diperintahkan, “Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya” (Yos. 1:8).

Mengasihi Allah, Menaati-Nya, dan Memperkenalkan-Nya

Kutipan oleh D. A. Carson yang diambil dari buku “Kasih di Tempat-Tempat yang Sulit” halaman 22-23.

Apa yang dimaksud [Ul. 6:1-9] adalah bahwa mengasihi Allah tidak dapat dipisahkan dari takut akan Allah dan menaati-Nya. Di satu sisi, menaati Allah ini berarti menaati perintah-perintah-Nya, dan perintah khusus yang ditekankan di sini adalah perintah untuk mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan. Di sisi lain, jika seseorang sungguh-sungguh mengasihi Allah, kasihnya itu akan menjadi kekuatan pendorong untuk menaati-Nya sepenuhnya – dan dalam konteks ini, menaati-Nya sepenuhnya akan membawa serta kewajiban dan privilese untuk merenungkan firman-Nya dan sungguh-sungguh berkomitmen untuk meneruskannya kepada generasi berikutnya. Karena bagaimana bisa seseorang sungguh-sungguh mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan, tetapi tidak ingin memperkenalkan-Nya, khususnya kepada anak-anaknya sendiri? Karena itu, pengabaian dalam hal ini bukan hanya merupakan ketidaktaatan, tetapi juga kurangnya kasih kepada Allah.