Kita Mengasihi karena Yesus Mengasihi Kita

Kutipan oleh Phil Ryken yang diambil dari buku “Mengasihi seperti Yesus Mengasihi” (Surabaya: Momentum, 2016) halaman 9.

Namun saya tahu bahwa di dalam Injil ada pengharapan bagi orang-orang berdosa yang tidak memiliki kasih. Salah satu tempat yang baik untuk melihat pengharapan ini terdapat dalam kisah yang Markus ceritakan mengenai Yesus. Kapan pun kita berbicara tentang kasih, kita harus selalu kembali kepada Yesus. Kasih dalam Pasal Kasih [1 Korintus 13] sungguh merupakan kasih-Nya. Maka selama kita mempelajari setiap frasa dalam setiap ayat dalam 1 Korintus 13, ktia berulang kali akan kembali pada kisah Yesus dan kasih-Nya. Kita tidak akan pernah belajar bagaimana mengasihi dengan mengusahakannya dari hati kita sendiri. Kita hanya dapat belajar mengasihi dengan lebih memiliki Yesus dalam hidup kita. Alkitab berkata, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yoh. 4:19). Karena hal ini benar, maka satu-satunya cara bagi kita agar lebih mengasihi adalah dengan memiliki lebih banyak kasih Yesus, sebagaimana kita menemukan Dia di dalam Injil.

Manusia Berdosa yang Bebas Namun Tidak Mampu Berbuat Baik

Kutipan oleh G. I. Williamson yang diambil dari buku “Katekismus Singkat Westminster 1” (Surabaya: Momentum, 2006) halaman 99-100.

Ada sebagian orang yang tidak menyukai doktrin yang mengajarkan ketidakberdayaan mutlak manusia dari dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik ini. Mereka berkata bahwa jika ajaran ini benar, maka itu berarti manusia tidak memiliki suatu kebebasan yang riil. Kesalahan yang dibuat orang-orang sedemikian adalah bahwa mereka ini tidak membuat pembedaan yang seharusnya antara kebebasan dan kemampuan. Kedua hal ini tidaklah sama, meski selama ini orang menganggapnya demikian. Istilah kebebasan berarti tidak adanya keharusan (atau paksaan) eksternal (atau dari luar). Jika seseorang diizinkan untuk melakukan apa pun yang dikehendaiknya, kita dapat menyebutnya bebas. Namun seorang manusia tidak selalu mampu melakukan sesuatu yang bebas dilakukannya. Manusia memiliki kebebasan untuk terbang, tetapi kenyataannya mereka tidak dapat terbang samapi mereka menemukan pesawat terbang. Allah bebas melakukan apa saja yang diinginkan-Nya, tetapi Ia tidak dapat berdusta. Allah tidak dapat berdusta karena Dia dikendalikan oleh natur-Nya sendiri. Allah itu kudus, dan oleh karena itu, Dia tidak dapat berdusta. Namun itu juga alasan mengapa manusia tidak mampu melakukan sesuatu yang baik (jika belum dilahirbarukan oleh Roh Kudus). Manusia bebas melakukan apa yang baik – tidak ada seorang pun yang memaksanya untuk melakukan yang jahat – namun ternyata ia tidak mampu melakukan yang baik. Natur batinnya yang jahat mencondongkan dirinya untuk melakukan kejahatan. “Dapatkah seorang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengganti belangnya? Masakan kamu dapat berbuat baik, hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat?” (Yer. 13:23).

Mengapa Kejahatan Manusia Tidak Sampai Maksimal?

Kutipan oleh G.I. Williamson yang diambil dari buku “Katekismus Singkat Westminster 1” (Surabaya: Momentum, 2006) halaman 98.

Kemurahan Allah menjadi satu-satunya alasan mengapa kejahatan manusia belum mencapai tingkatan yang maksimal (menjadi seperti Iblis, serta orang-orang berdosa di dalam neraka). Dapat dibayangkan betapa mengerikannya dunia ini bila semua manusia menunjukkan kefasikan yang maksimal: semua manusia akan dapat membunuh, mencuri, dan melakukan berbagai kefasikan setiap waktu! Dan dunia ini akan dipenuhi oleh segala bentuk tindak kekerasan. Bila demikian halnya, kita meragukan apakah hidup bisa terus berlangsung. Dan perhatikanlah: Keadaan seperti inilah yang akan terjadi bila Allah tidak memperlambat laju kerusakan yang diakibatkan dosa. Bagaimana Allah melakukannya? Tentu saja, dengan berbagai cara. (1) Pertama, Allah tetap memelihara kerja hati nurani dalam manusia berdosa. Hati nurani ini memang tidak dengan serta-merta membuat manusia yang fasik menjadi manusia benar. Namun hati nurani itu menolong mengekang perbuatan dosa sampai pada taraf tertenty (Rm. 2:15). (2) Hal lain yang telah ditempatkan Allah di dunia untuk mencegah manusia berdosa berbuat jahat adalah pemerintahan sipil. Para penguasa sipil telah ditempatkan Allah di dunia sebagai suatu ancaman bagi manusia yang hendak berbuat jahat (Rm. 13:1-5). (3) Hal ketiga yang dapat menahan manusia berdosa dari perbuatan jahat adalah ketakutan mereka akan maut (Ibr. 2:15). (4) selain itu, pengaruh dari keluarga, pendidikan, serta masyarakat dapat pula menjadi penghambat bagi perkembangan kejahatan di dalam hati serta kehidupan manusia. Adanya hal-hal seperti inilah yang membuat kita dapat menemukan ‘kebaikan’ tertentu dalam kehidupan manusia yang fasik. Dengan kata lain, dalam pandangan manusia, manusia berdosa sering tampak bertindak pantas. Namun, kita harus senantiasa mengingat bahwa ini bukan disebabkan oleh adanya suatu kebaikan sejati di dalam diri mereka.

Tanpa Kasih, Pengorbanan yang Terbesar Tidak Memiliki Arti

Kutipan oleh Phil Ryken yang diambil dari buku “Mengasihi seperti Yesus Mengasihi” (Surabaya: Momentum, 2016) halaman 7.

Dalam ayat 3 Paulus berpindah dari karunia-karunia yang ktia miliki pada pekerjaan-pekerjaan baik yang kita lakukan. Di sini argumennya mencapai klimaks: “Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.” Kedua contoh ini luar biasa. Tidak banyak orang yang menjual seluruh harta duniawinya dan membagikan 100% hasilnya kepada orang-orang miskin. Tidak banyak orang yang mengorbankan dirinya menjadi martir untuk mati dibunuh. Inilah dua hal besar yang dapat manusia lakukan bagi Kristus. Pastilah orang-orang yang melakukannya layak memperoleh berbagai macam imbalan! Namun bahkan pekerjaan baik yang paling hebat pun dapat dilakukan tanpa kasih. Sebaliknya, hal-hal demikian bisa saja dilakukan untuk memenuhi kesombongan rohani kita atau untuk memperoleh sesuatu dari Allah. Bahkan rasa sakit yang menyeramkan dari api martir pun tidaklah cukup. Jika kita tidak digerakkan oleh kasih yang murni bagi Allah, semua hal tersebut tidaklah berguna. Hanya kasih-Nyalah yang berarti.

Tanpa Kasih, Kita Hanyalah Pemuja Berhala

Kutipan oleh Phil Ryken yang diambil dari buku “Mengasihi seperti Yesus Mengasihi” (Surabaya: Momentum, 2016) halaman 5.

Beberapa ahli percaya bahwa ketika Paulus berbicara tentang ‘gong yang berkumandang,’ [1 Korintus 13: 1] ia sedang merujuk pada guci perunggu yang berongga, yang digunakan sebagai bilik-bilik beresonansi dalam teater kuno – sistem bangsa Yunani dan Roma untuk amplifikasi suara. Maka intinya adalah tanpa kasih, kata-kata kita hanya menghasilkan “bunyi kosong yang keluar dari bejana yang berongga dan mati.” Para ahli yang lain meyakini bahwa Paulus sedang merujuk pada gong yang digunakan untuk menyembah dewa-dewa berhala, seperti dewi Kibele. Jika demikian, maka ia sedang mengatakan bahwa tanpa kasih, kita hanyalah pemuja berhala. Gambaran dalam ayat ini selalu mengingatkan saya pada The Gong Show, acara televisi pada era 1970-an di mana para peserta dinilai berdasarkan kemampuan mereka dalam bernyanyi atau menari. Jika para juri tidak menyukai pertunjukan tertentu, mereka akan berdiri dan memukul sebuah gong besar untuk mengakhiri pertunjukan tersebut. Gong dapat menghasilkan bunyi yang keras, tetapi tidak dapat menghasilkan musik yang indah.