Kemuliaan Allah dalam Alam Semesta

Kutipan oleh John Piper dari buku ‘Melihat dan Menikmati Yesus Kristus’ (Surabaya: Momentum, 2013) halaman 3-4.

Alam semesta yang dicipta sepenuhnya berkaitan dengan kemuliaan. Kerinduan terdalam hati manusia dan makna terdalam sorga dan bumi terangkum dalam hal ini: kemuliaan Allah, dan kita diciptakan untuk melihatnya dan menikmatinya. Hal lain yang kurang dari itu berarti tidak mencapai tujuannya. Karena itulah dunia menjadi tidak teratur dan disfungsional seperti sekarang ini. Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan hal-hal lain (Roma 1:23). “Langit menceritakan kemuliaan Allah” (Mazmur 19:2). Itulah mengapa semua alam semesta eksis. Semuanya berkaitan dengan kemuliaan. Teleskop Angkasa Hubble mengirim gambar-gambar infra merah dari galaksi jauh yang tampak redup yang mungkin letaknya dua belas miliar tahun cahaya (dua belas miliar dikali enam triliun mil). Bahkan di dalam Galaksi Bima Sakti kita ada bintang-bintang yang begitu besar sehingga sulit dideskripsikan, seperti Eta Carinae, yang lima juta kali lebih terang daripada matahari kita. Kadang-kadang orang-orang sulit mengaitkan keluasan alam semesta yang luar biasa ini dengan manusia yang terlihat tidak signifikan. Alam semesta memang membuat kita teramat kecil. Tetapi makna kebesaran ini bukan mengenai kita. Kebesaran ini adalah mengenai Allah. “Langit menceritakan kemuliaan Allah,” kata Kitab Suci. Alasan untuk “membuang” begitu banyak ruang di alam semesta untuk menjadi rumah bagi umat manusia yang begitu kecil adalah untuk menyatakan tentang Pencipta kita, bukan tentang kita. “Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara mereka keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya? Satupun tiada yang tak hadir, oleh sebab Ia maha kuasa dan maha kuat” (Yesaya 40:26).

Memberikan Semuanya untuk Allah

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya.” (Lukas 21:3-4)

 

Seorang Kristen pernah berkata ‘gereja A itu munafik. Setiap kali orang yang miskin atau biasa-biasa saja lewat, penyambut tamu tersebut hanya memberikan salam sekedarnya tanpa memberi muka, namun ketika orang kaya lewat, penyambut tamu tersebut tiba-tiba menjadi sangat ramah bukan main.’ Yakobus menegur jemaatnya agar tidak berfokus pada jemaat yang kaya dan mengabaikan jemaat yang miskin. Ini adalah isu serius yang dialami oleh banyak megachurch, baik di Indonesia maupun luar negeri.

Tuhan Yesus dalam Injil Lukas memberikan penegasan tersendiri. Setelah orang-orang kaya dan janda miskin telah memberikan persembahannya, Tuhan Yesus berkesimpulan bahwa janda miskin itu telah memberikan lebih banyak daripada orang-orang kaya tersebut. Apakah orang-orang kaya tersebut pelit? Tidak. Tuhan Yesus menyatakan bahwa para orang kaya itu memberi dari kelimpahan mereka, tetapi janda miskin itu memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya. Tuhan tidak melihat jumlah uang yang diberikan semata, tetapi Tuhan melihat orang tersebut memberi seberapa banyak dari seluruh harta yang ia miliki. Memberi persembahan 1 juta Rupiah adalah mudah bagi konglemerat, namun memberi persembahan 10 ribu Rupiah adalah sulit bagi seorang pemulung.

Manusia berdosa hanya melihat jumlah uang dan tidak melihat persentase. Bagi manusia berdosa, nominal-lah yang penting. Namun bagi Tuhan, persentase-lah yang berarti. Mereka yang memiliki 1 talenta hanya dituntut untuk menghasilkan 1 talenta, namun mereka yang memiliki 10 talenta harus bisa menghasilkan 10 talenta. Jika keduanya berhasil, maka keduanya akan menerima pujian yang sama. Ia yang memiliki 10 talenta tidak akan mendapatkan lebih banyak pujian, juga ia yang memiliki 1 talenta tidak akan mendapatkan lebih sedikit pujian. Semua harus memberikan sesuai dengan kapasitas masing-masing.

Mari kita memberi, bukan berdasarkan berapa banyak pemberian orang lain, tetapi berdasarkan kapasitas yang Tuhan anugerahkan kepada kita.

Sinning with a High Hand

Tetapi orang yang berbuat sesuatu dengan sengaja, baik orang Israel asli, baik orang asing, orang itu menjadi penista TUHAN, ia harus dilenyapkan dari tengah-tengah bangsanya. (Bilangan 15:30)

 

Kitab Bilangan pasal ke-15 membicarakan tentang dosa yang tidak sengaja dan dosa yang disengaja. Dikatakan bahwa mereka yang berdosa secara sengaja telah menjadi penista Tuhan dan harus dilenyapkan dari tengah-tengah Israel. Pernahkah kita melakukan dosa secara sengaja? Kita pasti pernah. Adakah tokoh di dalam Alkitab yang melakukan dosa secara sengaja? Ada banyak. Abraham melakukan dosa dengan sengaja. Ia berbohong kepada Firaun dan Abimelekh. Ishak juga berbohong. Yakub berbohong kepada ayahnya sendiri dan kakaknya. Musa berdosa dengan tidak melaksanakan sesuai perintah Tuhan. Daud berdosa secara sengaja dalam hal membunuh Uria, berzinah dengan Betsyeba, dan membohongi rakyat. Kasus-kasus seperti inikah yang dimaksudkan ayat di atas? Mengapa mereka tidak dilenyapkan oleh Tuhan?

Bilangan 15:30 sebenarnya membicarakan tentang ‘sinning with a high hand.‘ Dalam budaya Timur Dekat Kuno, kita bisa menemukan gambar atau patung dimana ada seseorang yang mengacungkan tangannya ke arah langit. Ini berarti orang tersebut sedang secara langsung menantang Allah. Orang ini sama sekali tidak punya rasa takut kepada Allah dan siap untuk melawan-Nya. Inilah yang dilakukan oleh para pemimpin agama yang melawan pemberitaan Injil secara frontal.

Ada seorang yang pernah berkata ‘aku memang pemabuk dan suka bermain perempuan, tapi aku tidak terima jika Nama Allah-ku dinista.’ Orang ini masih melakukan dosa, namun bukan ‘dosa dengan tangan teracung’ seperti yang dilakukan oleh para pemimpin agama. Dosa dengan tangan teracung merupakan dosa yang derajatnya lebih parah daripada dengan dosa lainnya.

Memperbaiki Diri Sendiri Terlebih Dahulu

Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? (Matius 7:3)

 

Manakah yang lebih mudah: melihat kesalahan pada diri orang lain atau pada diri sendiri? Manusia berdosa lebih mudah melihat kesalahan orang lain daripada kesalahan dirinya sendiri. Saat Adam ditanya oleh Tuhan mengapa ia memakan buah tersebut, Adam menjawab ‘perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.’ Adam menyalahkan Hawa atas apa yang terjadi. Ia juga secara tidak langsung menyalahkan Tuhan karena ia menyebutkan fakta bahwa Tuhan-lah yang menempatkan Hawa di sisinya. Hawa, sama seperti Adam, juga menyalahkan yang lain. Ia menyalahkan ular.

Kita sering mendengar bahwa dunia ini menjadi kacau karena para orang jahat telah berbuat semena-mena, benarkah demikian? Edmund Burke berkata “The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing,” juga Albert Einstein berkata “The world will not be destroyed by those who do evil, but by those who watch them without doing anything.” Kedua orang ini mengajak kita untuk tidak menyalahkan orang jahat terlebih dahulu tetapi untuk melihat diri kita sendiri terlebih dahulu. Tuhan Yesus dengan jelas menyatakan bahwa kita harus mengeluarkan balok dari mata kita terlebih dahulu (Matius 7:5). Itulah ajaran Tuhan kita, yaitu agar kita bercermin terlebih dahulu.

Sebelum pikiran kita mulai menyalahkan orang lain, kita harus memilih untuk mencari kesalahan diri sendiri. Banyak pernikahan telah berakhir karena lebih suka menyalahkan pasangan ketimbang mengoreksi diri sendiri. Banyak orang mau mendapatkan teman yang tepat sesuai kriterianya, tapi tidak bertanya apakah dirinya sendiri sudah menjadi teman yang tepat bagi orang lain.

Mari kita berkomitmen untuk rajin memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu, karena itulah tuntutan Tuhan bagi kita.