Menanggapi Pujian dan Kritik dengan Tepat

Kutipan oleh Billy Kristanto dari buku “Ajarlah Kami Bertumbuh” (Surabaya: Momentum, 2011) halaman 10.

Ada banyak pelayan Tuhan yang terjebak dalam pujian, lalu menjadi lupa diri, dan akhirnya Tuhan tidak lagi berkenan memakai mereka. Orang yang tenggelam dalam pujian juga akan tenggelam dalam kritik. Pujian dan kritik adalah dua sisi yang berbeda dari satu keping koin. Sebaliknya, orang yang bisa menerima pujian dan mengembalikannya kepada Tuhan, juga mampu menerima kritik untuk mengintrospeksi diri. Paulus mengalami keduanya – selain ada yang memuji dan mengagumi, pasti ada juga yang mengkritik. Bernard of Clairvaux, seorang penulis spiritual dari Abad Pertengahan, dalam salah satu suratnya kepada seorang muridnya yang suka memuji dia, menyatakan kegelisahannya karena ia sadar bahwa berdasarkan naturnya yang lemah, manusia begitu rentan terhadap pujian. Paulus menerapkan perkataan yang keras pada dirinya sendiri; ia menyatakan bahwa ia tidak disalibkan bagi jemaat Korintus, dan bahwa mereka juga tidak dibaptis dalam namanya. Dengan bersikap seperti ini Paulus memelihara diri dari kejatuhan yang tidak perlu.

Manusia sebagai Makhluk yang Menilai

“Tetapi aku menasihatkan kamu demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir” (1 Kor. 1:10). Di salah satu terjemahan Inggris dikatakan, “that you be united in the same mind and same judgment” [terjemahan bebas: supaya kamu memiliki persatuan dalam cara pikir dan penilaian – ed.] Orang bukannya tidak boleh menilai, karena kita memang diciptakan dengan konsep nilai. Orang yang tidak pernah menilai mungkin adalah orang yang naif dan tidak berpengertian. Tuhan memberikan kepada manusia kapasitas untuk menilai, bahkan firman Tuhan memerintahkan kita untuk menguji segala sesuatu. Kalau kita tidak melakukan pengujian, justru kita yang bersalah. Akan tetapi yang menjadi persoalan di dalam jemaat Korintus ialah setiap orang membuat penilaian berdasarkan diri mereka sendiri. Penilaian dari manusia yang berbeda-beda akhirnya merusak kesatuan tubuh Kristus. Masing-masing menganggap diri mereka yang paling benar. Sebagian jemaat menganggap diri mereka mengikuti Paulus, sebagian lainnya menganggap mengikuti Apolos, yang lainnya lagi menganggap diri mereka mengikuti Petrus atau Kefas, dan yang paling congkak menganggap diri mereka dari golongan Kristus.

Kasih Karunia Allah dan Pengucapan Syukur

Kutipan oleh Billy Kristanto dalam buku “Ajarlah Kami Bertumbuh” (Surabaya: Momentum, 2011) halaman 4-5.

“Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu” (1 Kor. 1:3). Paulus menyatakan bahwa kesabarannya itu bukan berasal dari dirinya sendiri tetapi karena kasih karunia (anugerah) Allah yang menyertainya. Di sini kembali yang disampaikan bukan sisi subjektif (mis., kebesaran pelayanannya), melainkan sisi objektif, yaitu karena anugerah Allah saja. Inilah yang membuat pelayanan seorang hamba Tuhan diberkati.

Ayat 4-9 menyatakan bagaimana Paulus senantiasa mengucap syukur kepada Allah. Di tengah segala persoalan rumit yang sedang dihadapinya dengan jemaat Korintus, Paulus tetap melihat secara positif bagaimana Allah telah berkarya dalam kehidupan mereka. Salah satu rahasia hidup berbahagia adalah melatih diri untuk selalu mengucap syukur, karena hal ini akan memberikan kekuatan dalam segala persoalan kehidupan yang kita hadapi. Kita dapat bermegah atas segala kondisi yang terjadi di sekeliling kita jika kita melihatnya dengan perspektif yang lebih luas di dalam Tuhan.

“Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang telah diteguhkan di antara kamu” (ay. 5-6). Orang-orang Korintus memiliki kebudayaan dan pendidikan yang tinggi; banyak di antara mereka yang memiliki keahlian dalam hal perkataan (berpidato), sementara Paulus tampaknya bukanlah seorang yang fasih lidah. Namun Paulus tetap mengucap syukur akan hal ini, dan tidak menjadi rendah diri (minder) walaupun orang-orang Korintus memegahkan kelebihan mereka.

“Demikianlah kamu tidak kekurangan dalam suatu karunia pun sementara kamu menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus” (ay. 7). Jemaat Korintus adalah salah satu jemaat yang memiliki karunia terlengkap dibandingkan dengan jemaat-jemaat lain yang pernah Paulus layani. Sekalipun karunia-karunia itu membuat mereka memegahkan diri, dan tentang hal itu Paulus harus menegur mereka, ia tetap menyatakan bahwa kelengkapan karunia-karunia tersebut merupakan berkat Tuhan. Tentang hal ini Paulus pun bersyukur.

Paulus adalah seorang yang bersyukur; ia menghitung anugerah Tuhan satu per satu. Orang yang belajar mengucap syukur pasti berbahagia hidupnya. Orang yang terus-menerus mengeluh tidak akan melihat dengan jelas anugerah Tuhan sehingga kehidupannya tidak dapat dialirkan menjadi berkat bagi orang lain. Ia akan cenderung berpikir bahwa semua orang harus melayaninya dan dialah yang seharusnya mendapatkan berkat dari orang lain. Orang yang demikian bersikap egois dan Tuhan sulit memakai orang seperti itu.

Sering kali kita mengucap syukur secara umum, sedangkan kita meminta dengan sangat mendetail. Manusia jarang mengucap syukur kepada Tuhan secara mendetail. Kita perlu banyak belajar dari Paulus. Paulus mengucap syukur dengan menghitung berkat Tuhan satu per satu. Ia tidak mengucap syukur secara umum atau borongan – sekali mengucap syukur berlaku untuk selama-lamanya, dengan asumsi Tuhan sudah tahu detailnya karena Ia mahatahu.

Identitas Kekudusan dari Allah

Kutipan oleh Billy Kristanto dari buku ‘Ajarlah Kami Bertumbuh’ (Surabaya: Momentum, 2011) halaman 3-4.

“kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita” (ay. 2). Paulus tetap menyebut orang-orang Korintus sebagai orang-orang kudus walaupun banyak dari mereka tidak mencerminkan kehidupan yang kudus. Paulus tetap menyebut mereka “orang-orang kudus” karena mereka adalah orang-orang yang dikuduskan di dalam Kristus Yesus. Karakter atau milik yang paling indah dalam diri seorang Kristen pertama dan terutama bukanlah kualitas subjektifnya, melainkan kenyataan objektif dalam diri mereka bahwa Yesus Kristus sudah menebus mereka. Itulah yang menjadikan seseorang memiliki identitas sebagai orang kudus. Paulus mengetahui kelemahan jemaat Korintus, tetapi ia tidak meninggalkan mereka, karena ia melihat fakta objektif bahwa Yesus Kristus telah menguduskan mereka dan telah melahirbarukan mereka. Paulus melihat Yesus Kristus yang ada di dalam jemaat Korintus.

Paulus menekankan sisi objektif jemaat Korintus, yaitu mereka adalah orang-orang yang secara status telah dikuduskan, meskipun secara kondisi mereka masih dalam proses pengudusan yang terus berlanjut. Paulus perlu menekankan hal ini karena identitas adalah masalah yang sangat penting. Orang yang tidak mengenal identitas dirinya sendiri akan berkelakuan tidak sesuai dengan identitasnya dan akan menjalani hidup yang memalukan. Paulus mengungkapkan hal ini kepada jemaat Korintus sebagai dorongan bagi mereka, dan sekaligus sebagai teguran agar mereka hidup menurut status atau identitas mereka dalam Tuhan, yaitu sebagai orang-orang kudus.

 

 

Setia Melayani di Tempat yang Sulit

Kutipan oleh Billy Kristanto dari buku ‘Ajarlah Kami Bertumbuh’ (Surabaya: Momentum, 2011) halaman 2-3.

“dan dari Sostenes, saudara kita.” Sostenes mungkin adalah salah seorang pemimpin sinagoge di Korintus, seorang percaya dari kebangsaan Yahudi. Sama seperti rasul-rasul yang lain, Paulus tidak berniat mendirikan Gereja Perjanjian Baru yang sama sekali terputus dari ibadah orang-orang Yahudi. Sekalipun pelayanan Paulus, seperti juga Tuhan Yesus, bersifat revolusioner atau mempunyai semangat yang mendobrak, ia tetap melayani di sinagoge – memperjuangkan doktrin yang benar di gereja lama dan tidak menganggap bahwa gereja yang lama sebagai tempat yang berdosa sehingga perlu mendirikan gereja yang baru.

Demikian juga halnya Martin Luther, ia sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk mendirikan gereja yang baru, apalagi Gereja Lutheran! Ia sendiri berpikir bahwa namanya tidak patut untuk digunakan, dan akhirnya menggunakan nama gereja evangelisch karena inti perjuangannya adalah berita Injil. Meskipun pada awalnya Luther sendiri tidak ingin mendirikan gerejanya sendiri, namun akhirnya Tuhan memimpinnya untuk mendirikan gereja baru. Pemisahan dari Gereja Katolik Roma terjadi karena gereja pada saat itu tidak bersedia untuk dikoreksi.

Apakah kita mempunyai semangat yang sama? Ataukah kita segera mencari komunitas yang baru begitu ada kesulitan? Tidak pernah adakah gereja di mana kita bisa menetap dan terlibat di dalamnya dengan segala kelebihan maupun kelemahannya? Kita perlu belajar dan meneladani hamba-hamba Tuhan ini, yang bersedia untuk menggumulkan kesulitan dari jemaat yang mereka layani.