Haruskah Saya Dibaptis dengan Roh Kudus?

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 61.

Empat kali penggunaan ungkapan ‘membaptis dengan Roh Kudus’ yang tercatat di dalam kitab-kitab Injil (Mat. 3:11; Mrk. 1:8; Luk. 3:16; dan Yoh. 1:33), adalah untuk mendeskripsikan kejadian historis yang akan terjadi, yaitu pencurahan Roh di hari Pentakosta. Jadi, misalnya, di dalam Markus 1:8, Yohanes Pembaptis dicatat mengatakan, ‘Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia [Kristus] akan membaptis kamu dengan Roh Kudus.’ Dalam rujukan pertama yang muncul dalam Kitab Kisah Para Rasul 1:5, ungkapan tersebut, yang sekarang dalam bentuk pasif, juga merujuk kepada kejadian ini: ‘Tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus.’ Jadi, kelima penggunaan ungkapan ‘baptisan dengan Roh Kudus’ bukan menunjukkan suatu pengalaman yang harus dialami orang percaya setelah konversinya, melainkan suatu kejadian historis yang terjadi di hari Pentakosta: pengaruniaan Roh Kudus bagi gereja di dalam kepenuhan-Nya – suatu peristiwa yang seperti juga peristiwa kebangkitan Kristus, merupakan peristiwa yang tidak terulang lagi.

Mengapa Disebut ‘Buah’ Roh?

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 57.

[M]engenai buah Roh: fakta digunakannya sebutan buah menunjukkan ide mengenai pertumbuhan. Ketika suatu buah baru muncul, katakanlah di pohon apel, pir, atau persik, buah itu agak kecil; diperlukan satu musim penuh untuk menjadikan buah itu bertumbuh ke ukurannya yang sepenuhnya dan rasa yang matang. Secara analogi, kita tidak dapat berharap untuk melihat buah Roh dalam bentuk yang matang di dalam kehidupan seorang anak kecil atau seorang petobat baru; harus ada waktu bagi pematangan dan pendewasaannya. Oleh karena itu, menghasilkan buah Roh jangan dipikirkan sebagai kejadian tunggal, suatu pengalaman yang klimatis dan dapat didata. Atau sebagai suatu bentuk pengalaman ‘berkat kedua,’ sebaliknya ini harus dilihat sebagai proses pertumbuhan rohani yang terus-menerus. Dan pertumbuhan ini bukanlah proses di mana kita dapat bersikap pasif; melainkan menuntut disiplin doa, iman, dan peperangan rohani seumur hidup.

Kuasa Kristus yang Berkemah di Atas Paulus

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 54.

Tiga kali Paulus memohon kepada Allah untuk mengangkat duri ini dari tubuhnya, tetapi jawaban Allah adalah, ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna’ [2 Kor. 12:9]. Paulus kemudian mengucapkan kata-kata yang luar biasa ini ‘Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.’ Karena kata yang diterjemahkan sebagai ‘menaungi’ adalah episkenose, yang diturunkan dari kata Yunani untuk kemah (skene), maka apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Paulus adalah, ‘sehingga kuasa Kristus dapat mendirikan kemahnya di atasku.’ Paulus telah mengalami kuasa ilahi luar biasa, yang dinyatakan bukan dalam bentuk kesembuhan dari penyakitnya, melainkan keteguhan di dalam menghadapi penderitaan. Paulus membuat kita tercengang ketika dia mengatakan bahwa dengan terus menanggung duri yang ia mohonkan kepada Allah untuk diangkat darinya ini, kuasa Kristus sekarang menaungi dirinya secara permanen. Dan Paulus menyimpulkan, ‘Sebab jika aku lemah, maka aku kuat’ (ay. 10). Maka di sini kita melihat kuasa Allah yang dimanifestasikan bukan di dalam bentuk penyembuhan dari penderitaan fisik, melainkan di dalam kemampuan untuk hidup di dalam penderitaan itu untuk memuliakan nama Allah. Aspek kuasa Allah inilah yang tidak boleh luput dari pandangan kita.

Apakah Tuhan Tidak Berkenan Menyembuhkan Orang yang Kurang Beriman?

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 52.

Ketika orang yang telah didoakan tidak sembuhkan secara fisik, kita tidak pernah boleh berkata, ‘Dia tidak cukup beriman.’ Pernyataan seperti ini adalah kejam dan menghakimi; ini merupakan upaya untuk mengetahui hati orang lain – suatu hal yang hanya dapat dilakukan Allah. Lagi pula, pernyataan seperti ini mungkin sama sekali keliru. Sudah pasti orang tidak dapat berkata bahwa alasan tidak dilenyapkannya duri dalam daging Paulus adalah karena dia tidak beriman. Iman sejati selalu siap untuk tunduk kepada kehendak Allah, dan dalam hal tertentu mungkin Allah tidak berkehendak untuk menyembuhkan. Sebagai ilustrasi, perhatikan surat Profesor Carl A. Clark, yang dimuat di majalah Christianity Today, berikut ini: ‘Tahun ini saya merayakan peringatan ke-60 dari kecelakaan yang menyebabkan saya lumpuh di seluruh bagian bawah tubuh saya. Tetapi saya telah melayani Tuhan sebagai pendeta, administrator denominasional, dan profesor di seminari teologi. Saya tidak perlu disembuhkan untuk dapat merasakan kehadiran dan kuasa Roh Kudus. Saya tidak pernah mengetahui orang Kristen yang sakit atau terluka parah yang tidak berdoa bagi penyembuhannya. Apakah Wimber [John Wimber, yang ditampilkan di edisi sebelumnya dari majalah ini] mengatakan bahwa saya dan ratusan orang lain yang mendoakan kesembuhan saya tidak memiliki ‘cukup’ iman?’

Apakah Tuhan Pasti Menyembuhkan Orang Beriman?

Kutipan oleh Anthony Hoekema dari buku “Diselamatkan oleh Anugerah” (Surabaya: Momentum, 2010) halaman 51-2.

[K]ita tidak dapat mengharapkan kesembuhan fisik pasti terjadi setiap kali kita berdoa bagi orang sakit. Hal ini bahkan benar di zaman Perjanjian Baru sendiri. Rasul Paulus mampu menjalankan pelayanan penyembuhan, tetapi bahkan dia pun tidak dapat atau tidak menyembuhkan setiap penyakit yang dijumpainya. kepada Timotius dia menulis, ‘Trofimus kutinggalkan dalam keadaan sakit di Miletus’ (2 Tim. 4:20). Kepada jemaat di Filipi, Paulus menuliskan mengenai sakit yang hampir merenggut jiwa yang tidak dapat dicegahnya, yaitu sakit yang diderita Epafroditus, yang ‘sakit dan nyaris mati’ (Flp. 2:27). Dan Paulus sendiri hiudp dengan ‘duri dalam daging’ yang menyiksanya (sangat mungkin merupakan sakit fisik); berulang kali dia memohon kepada Tuhan agar duri ini disingkirkan darinya, tetapi tidak dikabulkan (2 Kor. 12:7-10). Oleh karena itu, ketika kita berdoa bagi kesembuhan dari sakit fisik, kita harus ingat bahwa adalah mungkin Allah tidak mengabulkan permintaan itu. Terkadang, seperti kasus duri dalam daging Paulus, Allah berkehendak menggunakan suatu penyakit atau cacat untuk memperkaya kehidupan rohani orang itu (lih. Rm. 5:3; Ibr. 12:4-11). Orang yang memikirkan Joni Eareckson Tada yang, walaupun lumpuh, telah dipakai secara luar biasa oleh Allah dalam pelayanan kasih bagi ribuan orang cacat.