Henry Martyn lahir dari sebuah keluarga yang kaya raya. Ayahnya adalah seorang pedagang, terhormat, bahkan mengisi waktu luang dengan persekutuan doa dan belajar matematika. Di tengah ayahnya yang begitu cemerlang, Henry mewarisi kesehatan yang lemah dari ibunya. Ibu dan dua saudara perempuannya meninggal akibat TBC.
Ayah Henry begitu menaruh pengharapan yang besar kepada Henry. Hal ini karena mereka memiliki kesamaan, yaitu kecepatan dan kecintaannya terhadap belajar. Hal ini terlihat di dalam prestasinya di sekolah. Ia memiliki prestasi yang baik dan kemampuan yang tinggi. Ketika masuk di dunia universitas, ia menempuh pendidikan di Cambridge. Dikenal sebagai orang yang tidak pernah melewatkan waktu dengan sia-sia.
Di dalam kehidupan kuliah, ia memiliki seorang panutan, yaitu John Kempthorne. Ia mengingatkan Henry untuk hidup bukan mencari kebanggaan manusia, tetapi perkenan dari Allah. Henry pun percaya bahwa kepercayaannya kepada Allah akan memengaruhi keseluruhan aspek kehidupannya. Namun hal ini berbalik berbeda saat ia menginjak usia 18 tahun. Ia bertumbuh sebagai seorang yang sombong dan meninggalkan kehidupan rohaninya.
Namun, hal yang besar di dalam hidup Henry, membuatnya terguncang. Ketika ayahnya meninggal, ia tergerak akan perkataan-perkataan yang ayahnya ucapkan semasa hidupnya. Doa dari adiknya dan bimbingan dari John. Hal-hal ini yang akhirnya menguatkan Henry di masa sulitnya. Di masa hidup yang terguncang memikirkan kehidupan setelah kematian sebagaimana setelah ayahnya meninggal, membuatnya tidak bisa berkonsentrasi dalam mempelajari matematika. Saat itulah keinginan dan kebutuhan akan hal yang berbau rohani sangat kencang terasa di dalam dirinya. Ia pun membuka Alkitab. Di saat itu, ia mulai disadarkan melalui Firman yang ia baca. Ia sangat rajin untuk berdoa dan membaca Alkitab. Hingga ia menemukan kenikmatan di dalam mambaca firman dan berdoa.
Kehidupan kerohaniannya bertumbuh, sehingga setelah menyelesaikan perkuliahannya di bidang matematika, ia mencari panggilan profesinya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk melayani Tuhan. Ia menyerahkan hidupnya untuk melayani Tuhan sepenuhnya. Meskipun ketika Henry harus ditempatkan sebagai pendeta yang membantu pendeta Simeon dan Henry merasa malu dipermulaan. Tentu karena ia adalah murid yang pintar, penuh penghargaan sehingga memiliki popularitas yang tinggi. Sedangkan saat ini, semua hal itu ia buang demi melayani Tuhan.
David Brainerd, seorang misionaris kepada suku Indian, menjadi inspirasi bagi Henry. Ia pun tergerak untuk menjadi seorang misionaris. Namun dengan kesehatan fisik yang lemah, selama melayani, ia mengelami kesulitan-kesulitan yang ada. Perlahan-lahan, di usia ke-21, ia yakin kalau ia dipanggil untuk misi keluar negeri.
Menarik jika melihat hidup pribadi Henry. Ia sendiri dekat dengan seorang wanita bernama Lydia Grenfell. Wanita saleh dan yang juga senang melayani. Henry sempat menghabiskan waktu berdua dengannya dan teman-teman Henry merasa, Lydia adalah pasangan yang cocok untuk Henry. Namun di tengah-tengah itu, Henry bergumul, apakah ia sedang mengilahkan Lydia sehingga sulit merasakan kehadiran Allah. Meski akhirnya ia yakin akan cintanya kepada Lydia, namun ia tidak sempat melamarnya karena harus berangkat dengan menggunakan kapal untuk menuju ke India.
Henry pun akan menjadi misionaris yang berangkat ke India. Ia berangkat menggunakan kapal dagang yang disertai dengan kapal yang mengangkut ribuan prajurit. Perjalanan yang panjang dan sulit karena di tengah peperangan yang ada. Ia melayani para prajurit di kapal tersebut. Walau karena kepintarannya dari sisi akamedis, ia tentu mampu membedakan dan menurunkan khotbahnya sebagaimana yang dimengerti para prajurit. Namun sayangnya masih banyak yang merasa khotbahnya sangat sulit dimengerti.
Meski pelayanannya tampak sulit diterima, namun Henry terus setia melayani para prajurit. Ia mengunjungi mereka yang terluka, tidak dapat lagi mengikut perang dan sebagainya. Di tengah pelayanannya di kapal, situasi dan kondisi di dalam kapal menambah buruk keadaan fisiknya. Ia menjadi sering sakit. Di tengah kesulitan dalam pelayanannya membuat ia semakin sadar bahwa ia harus bergantung kepada Tuhan sepenuh-penuhnya. Dan Tuhan menjawab doanya. Pelayanannya di tengah kapal itu membuahkan hasil. Beberapa orang tertarik dengan Kekristenan dan datang menghadiri persekutuan yang rutin diadakan Henry.
Waktu perjalanan yang panjang di kapal, digunakan Henry untuk belajar bahasa-bahasa daerah yang akan dipakainya di India. Sehingga ketika tiba di India, ia dapat berbicara dengan penduduk lokal dan hidup di tengah mereka. Meski ketika tiba, Henry sangat sedih dengan penyembahan berhala di mana-mana. Henry terus melayani penduduk lokal, termasuk para petinggi agama Hindu dan Islam di sana. Ia juga terus mempelajari secara dalam bahasa Hidustan, Persia dan Bengali.
Hingga pada suatu waktu, ia sadar bahwa injil seharusnya diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, untuk membantu mereka mengerti injil. Kecintaannya terhadap bahasa dan teman yang mampu bertukar pikir bersamanya, membuatnya berhasil menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Hindustan, Sansekerta dan Persia.
Di usianya yang ke-30, ia memutuskan untuk pergi ke Arab. Satu kota yang sudah lama ia gumulkan dan akhirnya Tuhan menghantarnya ke sana. Sebelum tiba di Arab, ia tiba di Timur Tengah, tentu Henry menghadapi masyarakat dan budaya yang berbeda lagi. Namun tidak menghentikan semangatnya ketika tiba di Arab. Ia banyak berbincang dengan masyarakat lokal dan pemimpin Islam yang percaya bahwa Kristus adalah nabi yang lebih kecil jika dibanding dengan Muhammad. Di sana ia terus berusaha untuk menerjemahkan Perjanjian Baru. Pekerjaannya yang keras dan keinginan yang kuat ini membuatnya berhasil menerjemahkan dalam waktu 8,5 bulan. Henry menjadi berkat bagi orang-orang muslim di Shiraz.
Kesehatannya yang buruk dan keadaan perjalanan yang panjang membuatnya tidak sanggup menjalani perjalanan yang ada. Di dalam catatan hariannya, ia menuliskan bahwa “jika Tuhan menginginkan ia mengerjakan sesuatu, tidak mungkin hal itu tidak terjadi”. Namun, Tuhan mengijinkannya meninggal di perjalanan menuju Konstantinopel (Turki). Henry dilayani pemakamannya oleh para pendeta yang tidak mengenalnya.
Perjalanan iman dan pelayanan para misionaris menjadi hal yang menginspirasi ketika kita membacanya. Namun, tentu keinginan keras mereka didorong oleh hati yang mengasihi dan mencintai Tuhan dengan sepenuhnya. Jikalau kita ingin mengetahui, apa yang membuat kecintaan para misionaris sangat besar. Terlebih dahulu dapat kita lihat dari kehidupan sehari-hari yang sederhana yang mereka lakukan. Yaitu membaca firman dan berdoa kepada Tuhan. Sehingga perlahan-lahan, anugerah Tuhan itu tiba pada kita, kita didorong oleh kasih yang sejati kepadaNya dan siap diutus olehNya untuk melayani di tempat yang Ia inginkan.
Seri Biografi Misionaris: Henry Martyn: Saksi Kristus di Tanah Arab – Momentum
(Diringkas oleh Paulina Prasetyo)