Injil adalah kekuatan Allah. Ini merupakan paradoks karena kekuatan Injil justru dinyatakan dalam kelemahan: Yesus Kristus yang tersalib. Dalam persepsi orang Yahudi, kekuatan Tuhan yang sesungguhnya itu dinyatakan ketika Mesias datang dan membebaskan bangsa mereka dari penindasan bangsa Romawi. Persepsi semacam ini mirip dengan persepsi manusia zaman sekarang yang terus mengharapkan mujizat sebagai demonstrasi kekuatan Allah. Sebaliknya, Injil menyatakan kekuatan Allah dalam versi yang sama sekali berbeda. Justru dalam keadaan yang sangat lemah di atas kayu salib, Yesus Kristus menyatakan kekuatan Allah. Ketika dicaci-maki, Ia tidak membalas; ketika orang-orang mengutuki-Nya, Ia justru memberkati dan mengampuni mereka. Inilah kekuatan Allah yang tidak dapat dimengerti oleh dunia.
Kekuatan Allah melenyapkan kelemahan manusia. Sepanjang hidup Yesus Kristus, Ia melakukan pelayanan yang mengangkat kelemahan manusia. Inilah konteks yang benar dari pelayanan yang disertai dengan mujizat. Kekuatan Allah dinyatakan saat Yesus digerakkan oleh belas kasihan terhadap kelemahan manusia. Mujizat dalam konteks kekuatan Allah adalah kekuatan Allah dalam mengekspresikan kasih-Nya yang besar atas manusia yang lemah.
Kekuatan Allah sekaligus menelanjangi kekuatan manusia. Di atas kayu salib, Tuhan Yesus menyatakan kekuatan di dalam kelemahan-Nya. Di situ Ia sepertinya ditelanjangi, padahal sebenarnya yang ditelanjangi ialah kita, orang berdosa. Ini adalah suatu paradoks. Tuhan Yesus dipermalukan, tetapi sebenarnya yang dipermalukan adalah diri kita yang sangat bobrok. Ketika Ia mengatakan kalimat-kalimat pengampunan, kita melihat diri kita yang sering kali tidak sanggup mengampuni mereka yang bersalah kepada kita. Kita melihat diri kita yang tidak sanggup memberkati orang lain yang mencaci maki kita. Di atas kayu salib satu per satu kebobrokan dan kerapuhan kita dibongkar.