INI RUMAH BAPA-KU (Lukas 2:49) Pdt. Tumpal H. Hutahaean, M.Th.
Hari ini saya akan berkhotbah dengan tema “Ini Rumah Bapaku”. Teks dan konteksnya berkaitan dengan Yesus yang pada saat itu berumur 12 tahun. Kita tahu bahwa umur 12 tahun itu adalah masa remaja menuju kematangan identitas, tetapi jikalau tidak matang maka bisa kehilangan identitas. Kita akan bersama-sama membaca Firman Tuhan di dalam Lukas 2:49, Lukas 2:52, dan Yohanes 2:17. Ketika Yesus berumur 12 tahun, Dia berkata bahwa itu rumah Bapa-Nya. Yesus juga pernah berfirman kepada para murid: di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal (Yohanes 14:2). Berkaitan dengan bait Allah, Yesus pernah berkata: rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali (Yohanes 2:19). Ternyata para murid teringat akan perkataan Yesus: cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku (Yohanes 2:17). Jadi di sini kita melihat bahwa dalam seluruh proses cinta kita kepada Tuhan dan kepada manusia, kuncinya adalah kerelaan untuk berkorban. Semakin engkau mencintai pasanganmu maka semakin besar pula kerelaanmu untuk berkorban demi pasanganmu. Tetapi jikalau tidak demikian maka engkau akan semakin mengorbankan pasangan demi dirimu sendiri dan ini menunjukkan bahwa cinta itu tidak bertumbuh ke arah Kristus. Demikian pun orang tua terhadap anak dan sebaliknya juga kita kepada Tuhan. Semakin kita mau hidup bagi Tuhan, maka semakin besar kemauan kita untuk berkorban. Ketika kita mau mengorbankan yang terbaik untuk Tuhan, itu berarti bahwa pengorbanan kita berkaitan dengan Kerajaan Allah, bukan berkaitan dengan diri kita atau keluarga kita. Di sini kita harus mengerti bahwa jikalau iman kita semakin bertumbuh, maka kerelaan kita untuk berkorban demi pekerjaan Tuhan akan semakin bertumbuh pula.
PENDAHULUAN
Dunia sekarang berusaha menjauhkan generasi baru dari kehidupan gereja dan Kristus. Gadgets yang kita miliki adalah saingan kenikmatan model baru dimana seseorang ketika berelasi tidak perlu bertemu muka dengan muka. Dengan teknologi sekarang dia bisa menikmati bagian-bagian yang mengikat kenikmatan dia dengan gadget itu. Banyak orang sekarang lebih tertarik dengan pengkhotbah youtube atau media sosial lainnya. Mereka menganggap bahwa jikalau mereka sudah melihat satu berita firman melalui media sosial maka itu tandanya mereka sudah beribadah. Salahkah ini? Salah, karena dia menyamakan gereja dengan satu relasi dengan gadget. Padahal kita yang disebut gereja adalah sekumpulan orang percaya dalam ikatan tubuh Kristus. Kita harus bersosialisasi dalam ikatan tubuh Kristus untuk menyatukan kita di dalam karunia demi karunia untuk melayani Tuhan. Di dalam bagian inilah kita perlu memahami bahwa dunia menanamkan satu ketertarikan. Jikalau kita tidak sadar maka kita akan kehilangan aspek nilai relasi kita dengan anak dan suami atau istri karena kita tidak waspada dengan peperangan rohani modern.
Ketika GRII Cikarang berumur ke-12, siapa yang peduli? Dan apa yang seharusnya kita lakukan ketika GRII Cikarang merayakan ulang tahun ke-12? Jikalau kita merayakan dan kita bersyukur akan hari ini, maka itu berarti kita memiliki hati untuk visi dan misi GRII. Kita memikirkan perkembangan di depan. Kita tahu bahwa setiap kita akan mati, tetapi bagaimana melihat jejak kaki Tuhan melalui GRII itulah yang perlu kita pikirkan untuk generasi di depan. Generasi berikutnya harus membawa visi dan misi GRII yang telah ditanamkan oleh Pdt. Stephen Tong. Hal yang harus kita lakukan saat GRII berulang tahun adalah evaluasi diri, membuat program perekrutan, dan membuat satu strategi perubahan. Inilah standar yang harus kita capai untuk memberikan yang terbaik untuk Tuhan. Tetapi ketika kita melupakan Tuhan maka kita harus menghancurkan dulu nilai diri kita yang tidak produktif untuk Tuhan.
Setiap gereja dan kita semua masuk dalam proses. Proses itu bisa menjadi indah atau bisa menjadi buruk. Mau dibawa ke arah mana GRII di depan? Visi dan misi harus kita pahami bersama. Melalui proses dari Tuhan, seluruh dosa yang engkau sembunyikan pada akhirnya akan terbuka. Melalui proses dari Tuhan engkau akan mengetahui apakah hidupmu sudah berkembang secara rohani atau diam di tempat. Melalui proses dari Tuhan engkau akan bisa tahu keindahan maka engkau akan bisa bersyukur di dalam kesulitan dan tantangan. Di dalam setiap beban yang berat engkau akan bisa melewatinya di dalam pertolongan Tuhan. Melalui proses dari Tuhan engkau akan bisa melihat satu keindahan, satu progres yang menyenangkan hati kita. Sebagai orang tua pasti kita harus melihat juga pertumbuhan anak. Kita harus memerhatikan proses yang berkaitan dengan gereja, pelayanan Tuhan, penginjilan, pemuridan Tuhan, dan yang lain-lain. Ketika saya mengambil tema ini, saya harus bergumul mengapa saya harus mengambil dari Lukas 2:49. Saya menggumulkan apa makna yang mau kita pelajari serta apa kaitannya dengan ulang tahun ini dan hal yang harus kita capai lebih lagi bagi Tuhan.
PEMBAHASAN
Perjalanan yang menyenangkan berubah menjadi perjalanan yang mengkhawatirkan (Lukas 2:43-46). Paskah adalah sesuatu yang biasa. Seluruh umat Yahudi, semua orang yang percaya akan Allah dari berbagai penjuru akan datang ke Betlehem untuk berbakti. Terkadang mereka berbakti selama 3 hari. Kita tahu bahwa saat itu orang tua Yesus berjalan dari Galilea. Mereka berjalan dalam satu kelompok dan perjalanan itu jaraknya 120-130 km. Perjalanan pulang-pergi biasanya membutuhkan 2 minggu. Mereka menciptakan perjalanan itu menjadi perjalanan yang menyenangkan karena perjalanan itu membuat mereka bisa bersekutu di antara satu dengan yang lain. Anak-anak bisa belajar untuk melihat alam dan bersekutu. Mereka merupakan satu kelompok rohani yang sama visinya dan tujuannya. Mereka mau beribadah dan mereka harus memiliki motivasi yang suci serta harus menjaga emosi mereka. Saat mereka berjalan pulang, Maria dan Yusuf tidak menemukan Tuhan Yesus. Maka mereka kembali ke Yerusalem untuk mencari Yesus. Dikatakan bahwa pada hari ke-3 Yesus baru ditemukan. Mengapa Yesus ditemukan di bait Allah? Tuhan Yesus bukan bermaksud untuk mencobai orang tuanya. Yesus hadir melalui rahim Maria, dibesarkan dalam keluarga Yusuf dan Maria, dan menjalankan penggenapan misi Allah. Maria dan Yusuf masih melihat misi mereka sebagai orang tua Yesus sehingga mereka memiliki kekhawatiran. Ini adalah sesuatu yang wajar. Namun kita harus mengemas kekhawatiran menjadi sesuatu yang rasional dan bukan dengan emosi yang membuat menjadi sangat tidak baik.
Dalam zaman sekarang ada 16 macam gangguan jiwa. Mengapa jiwa manusia bisa terganggu? Hasil penelitian dari 5 tahun ini menunjukkan bahwa ada banyak orang di zaman modern dan di zaman digital ini yang memiliki gangguan jiwa. Alkitab berkata bahwa khawatir itu mendatangkan dosa. Khawatir terkadang mengandung dosa karena kita tidak melihat Tuhan sebagai pemelihara kita. Mengapa engkau khawatir? Karena engkau tidak mencari Kerajaan Allah dengan seluruh kebenarannya. Engkau hanya memikirkan apa yang engkau mau tetapi engkau tidak pernah memikirkan apa yang Tuhan mau. Pada saat kita mempunyai kekhawatiran yang dikaitkan dengan misi Tuhan, di saat itulah kita akhirnya tidak termakan dengan kekhawatiran dunia karena kita percaya bahwa Allah itu berdaulat. Kita harus mengerjakan apa yang harus dikerjakan di dalam misi Tuhan.
Jadi di dalam bagian inilah terjadi satu pertemuan kekhawatiran misi Yusuf dan Maria dengan aspek misi Tuhan yang ditanamkan di dalam pribadi Yesus. Di saat itulah kita mengerti bahwa Yesus sama sekali tidak khawatir. Yesus menikmati diskursus dengan alim ulama di Bait Allah (ayat 46) selama 3 hari dan Ia tidur di Bait Allah. Dalam hal inilah kita baru tahu bahwa seluruh perjalanan hidup kita terkadang mengandung hal yang perlu kita pahami di dalam nilai identitas kita. Mengapa Yesus menikmati diskursus itu? Yesus sedang memberikan perkenalan awal tentang siapa diri-Nya. Yesus berumur 12 tahun dan sudah punya identitas sebagai orang yang penuh dengan hikmat, pengetahuan, dan ketajaman di dalam mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai Tuhan. Di dalam kurikulum pendidikan Yahudi, pendidikan anak berumur 11 tahun adalah shema yaitu banyak mendengar, banyak mengerti, dan memahami. Setelah itu mereka diajarkan untuk menghafal mazmur dan belajar bernyanyi. Daud menggembalakan kambing domba dan pandai bermain kecapi. Maka kita sebagai orang tua harus mengajarkan hal ini kepada anak-anak kita. Dari sejak kecil mereka harus diajarkan tentang Mazmur, bagaimana bernyanyi dengan benar, dan bagaimana bermain musik dengan benar. Orang Yahudi punya kurikulum yaitu menghafal seluruh Taurat dan menafsirkannya. Jikalau sudah bisa maka orang itu boleh menjadi pemimpin. Di dalam bagian inilah hal ini terkadang sudah tidak ada di dalam kurikulum pendidikan keimanan karakter kita di rumah.
Kejutan Hidup (Lukas 2:47-48 -> Bar Mitzvah)
Yesus mengejutkan semua orang yang ada di Bait Allah (ayat 47). Di dalam bait Allah ada alim ulama, ahli-ahli Taurat, orang Farisi, orang Saduki, dan pengikut-pengikut sinagoge pada saat itu. Selama 3 hari Yesus menjadi bintang karena anak umur 12 tahun itu bisa bertanya jawab tentang Tuhan, kehidupan, dan hikmat. Di saat itulah Yesus disebut Bar Mitzvah yang sedang mempelajari Taurat. Yesus bisa bertanya jawab, berdiskusi, menganalisa, bahkan bisa memberikan tafsiran yang sangat jitu. Umur Yesus melampaui seluruh pengetahuan dan kebijaksanaan orang-orang pada saat itu. Di dalam bagian inilah kita percaya bahwa hidup kita ada di dalam Tuhan. Kita bisa mengejutkan dunia secara positif tetapi juga bisa mengejutkan secara negatif di luar Tuhan. Jika hidup kita ada di dalam Tuhan, maka Tuhan bisa bekerja melampaui umur kita, keterbatasan kita, dan melampaui GRII yang berumur 12 tahun. Kehadiran GRII di Cikarang sudah banyak mengejutkan banyak gereja. Maka setiap kita harus rajin berdoa. Tuhan Yesus memiliki kualitas yang luar biasa karena Dia adalah Tuhan. Ketika Dia punya natur 100% manusia dan 100% Allah, Dia harus mengalami pertumbuhan. Di dalam pertumbuhan karakter dan pertumbuhan nilai relasi, Dia mengejutkan banyak orang secara positif. Umur 12 tahun adalah masa yang kritis. Saat anak berumur 12 sampai 13 tahun, orang tua harus menjadi pendamping yang komprehensif untuk melewati masa kritis itu. Jikalau masa ini tidak dilewati dengan baik maka anak bisa menjadi rapuh dan mendapatkan gangguan jiwa. Di sini orang tua harus menanamkan nilai keimanan pada diri anak dengan komprehensif. Orang tua harus menjadi pendamping supaya anak-anak bisa melewati masa ini dengan baik bersama dengan Tuhan.
Ketika gereja kita berumur 12 tahun, kita harus semakin bergandengan tangan. Kita harus semakin gigih mencari identitas kita untuk hidup bagi Tuhan. Visi kita adalah bagaimana kita menegakkan teologi Reformed di antara teologi-teologi lain. Kita harus menghidupi semangat penginjilan di Cikarang dan sekitarnya. Di dalam bagian inilah kita harus bersyukur jikalau gereja ini ada dari nol. Sampai sekarang gereja ini bisa ada karena anugerah Tuhan. Kita harus mengejutkan orang-orang di sekitar kita. Pada waktu orang lain melihat Tuhan di dalam kehidupan kita, di saat itu kita sebenarnya sedang mengejutkan orang-orang di sekitar kita karena karakter Tuhan ada di dalam hidup kita. Tuhan bisa mengerjakan hal-hal yang luar biasa yang tidak pernah kita pikirkan di dalam hidup kita. Di dalam bagian inilah kita percaya bahwa jika hidup kita ada di tangan Yesus, maka kita akan bisa menjadi orang yang sempurna. Jika hidup kita ada di luar Yesus maka hidup kita akan hancur di dalam seluruh keinginan duniawi. Jika hidup kita ada di tangan kita sendiri maka kita akan hanya mengikuti arus yang tidak menentu. Tetapi jika hidup kita ada di tangan Tuhan maka kita akan disempurnakan dari sisi karakter sampai keimanan. Yesus pada saat itu menyempurnakan paradigma berpikir alim ulama dan membereskan banyak hal dalam tanya jawab selama 3 hari. Pada saat itulah Yesus sedang menjadi tokoh retret bagi mereka.
Yesus mengejutkan Maria dan Yusuf (ayat 48). Yesus bertanya kepada orang tua-Nya: mengapa kamu mencari aku? Semua nilai kekhawatiran orang tuanya tidak diberikan empati oleh Tuhan Yesus pada saat itu. Pertanyaan Yesus pada saat itu membuat Maria dan Yusuf sangat terkejut. Mungkinkah Maria dan Yusuf tersinggung akan hal ini? Pada saat itu bisa saja Maria dan Yusuf berdiskusi, tetapi Alkitab mengatakan bahwa semua perkataan Yesus disimpan di dalam hati Maria. Ini karena dia tahu siapa Yesus. Seluruh kalimat itu mengejutkan tetapi sangat mengagumkan karena Yesus yang berumur 12 tahun itu melakukan diskursus dengan alim ulama dan duduk dengan tenang. Begitu juga gereja kita harus mengejutkan banyak gereja sehingga orang-orang bukan melihat kita tetapi melihat Tuhan lewat visi-misi gereja kita. Mereka akan kagum dengan apa yang kita kerjakan karena semua yang kita kerjakan berpusat pada nilai kerajaan Tuhan. Pertanyaan Yesus ‘mengapa kamu mencari Aku?’ jika dipahami secara melankolis pasti membuat Maria dan Yusuf sangat terpukul hatinya. Tetapi kalimat ini menunjukkan identitas diri-Nya ketika Dia berada di rumah Tuhan. Dia punya otoritas, kuasa, dan dominasi pada saat itu. Kalimat ini pasti bisa membenturkan nilai emosi dengan sangat kuat. Tetapi kalimat Yesus ini menunjukkan identitas-Nya sebagai Mesias. Yesus adalah Anak Allah. Dia mengerti bagaimana mengatur segala sesuatunya walaupun Dia berumur 12 tahun. Kalimat ini menjelaskan identitas dan tanggung jawab-Nya. Kalimat ini juga menjelaskan bahwa Dia adalah anak yang mandiri. Di dalam bagian inilah Yesus memunculkan identitas-Nya, sedangkan anak lain yang berumur 12 tahun masih mencari identitas. Gereja kita sudah berumur 12 tahun dan tidak lagi mencari identitas tetapi menunjukkan identitas kita, kemandirian kita, dan tanggung jawab kita.
Setelah Tuhan menunjukkan identitas-Nya, berkatalah Yesus kepada mereka: Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku? (Lukas 2:49). ‘Rumah Bapa-Ku’ bukan berarti gedungnya. ‘Rumah Bapa-Ku’ adalah Bait Allah yang dalam Perjanjian baru adalah diri kita sendiri. Ini karena diri kita sudah ditebus oleh Kristus dan Kristus tinggal di dalam hidup kita. Roh Kudus menggenapkan semuanya itu melalui kelahiran baru kita sehingga Bait Allah itu adalah tubuh kita. Tubuh ini adalah tempat dimana Allah hadir. Tubuh ini akan bermakna jikalau semua dipenuhi oleh Kristus dan jikalau semua ini dikembalikan menjadi milik Kristus. Kita harus berani berkata seperti Paulus. Dahulu tubuhnya hanya dipakai sebagai senjata kejahatan, kecemaran, dan senjata yang sifatnya tidak memuliakan Tuhan. Namun kemudian di dalam Tuhan ia menyerahkan seluruh anggota tubuhnya menjadi senjata kebenaran. Kalimat ‘ini rumah Bapa-Ku’ menjelaskan bahwa Dia harus menyatakan kemuliaan Tuhan. Ini menunjukkan bahwa Dia hidup untuk memberitakan Injil Allah dan menyatakan Tuhan kepada orang-orang yang ada di Bait Allah pada saat itu.
Kita harus menghargai seluruh kehadiran Tuhan. Tuhan itu maha hadir, maka di dalam bagian inilah mari kita berpikir secara pribadi bahwa tubuh kita adalah Bait Allah atau Rumah Tuhan. Secara global kita harus berpikir bahwa Tuhan itu hadir. Ini berarti kita harus hidup untuk menyatakan Tuhan melalui nilai kehidupan secara pribadi saat menikmati Firman setiap hari. Melalui pekerjaan kita harus menyatakan Firman Tuhan. Ia harus menjadi Tuhan atas seluruh hidup kita. Pada akhirnya kita akan mempunyai rumah yang kekal di surga, maka dari itu Tuhan berkata: di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal (Yohanes 14:2). Inilah yang menjadi penghiburan kita supaya kita tidak takut menghadapi kematian. Tetapi kita juga harus mengingat kalimat sebelumnya: cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku (Yohanes 2:17). Jikalau kita semakin mencintai Yesus, maka kita akan semakin rela untuk menghancurkan keinginan kita yang tidak suci. Kita akan semakin rela untuk menghancurkan ego kita supaya Tuhan lebih terlihat melalui seluruh kehidupan kita, keluarga kita, dan bisnis kita. Kita akan semakin ingin kehendak-Nya dinyatakan di gereja ini. Biarlah setiap kita dapat memahami bagian ini supaya ucapan syukur kita selalu dikaitkan dengan Tuhan dan penyertaan Tuhan. Biarlah setiap kita boleh bersungguh-sungguh menjadi umat yang semakin bertanggung jawab dan mengejutkan orang-orang di sekitar kita karena pada akhirnya mereka dapat melihat Tuhan. Kita akan menjadi orang yang bisa dibanggakan dan dikagumi karena orang lain melihat Yesus hidup di dalam kita. Tuhan memberkati.
KARAKTER KEPEMIMPINAN MUSA: BERKORBAN Pdt. Tumpal H. Hutahaean, M.Th.
Hari ini kita akan membahas tentang karakter kepemimpinan Musa yaitu berbicara tentang pemimpin yang berkorban, bukan pemimpin yang mengorbankan. Dan berikutnya kita akan membahas karakter yang terakhir yaitu pemimpin yang berkarakter futuris. Di dalam aspek nilai futuris pasti ada nilai strategis. Dan orang yang berpikir strategis belum tentu berpikir futuris jangka panjang. Jadi ini tema yang menarik untuk kita pelajari yaitu bagaimana menjadi pemimpin yang selalu melihat ke depan di dalam pimpinan Tuhan, bukan melihat apa yang di depan menurut pemikiran kita. Kita akan membaca firman bersama-sama yaitu Keluaran 32:32, Yohanes 15:13, dan 1 Korintus 10:10.
Paulus membahas peristiwa dimana orang Israel selalu bersungut-sungut dan tidak sungguh-sungguh belajar melihat pimpinan Tuhan tetapi terus melihat pimpinan diri, maka Paulus menulis suatu pesan yang singkat di dalam 1 Korintus 10:10. Paulus memakai istilah malaikat maut. Ada di antara mereka yang terkena api dari Tuhan dan ada di antara mereka yang langsung mendapatkan gigitan ular. Ada keturunan Ruben yang akhirnya juga ditelan oleh bumi dan masih banyak lagi kejadian yang lain. Jadi Paulus memakai istilah ‘mereka dibinasakan oleh malaikat maut.’
Pendahuluan
Apa itu pengorbanan? Jikalau kita masih melihat kepada diri sendiri yang berkorban dan apa yang kita kerjakan di dalam nilai pengorbanan, maka itu bukanlah pengorbanan yang benar. Kita sebagai orang Kristen dipanggil untuk murah hati dan mau berkorban dengan tulus. Pengorbanan yang sejati adalah pengorbanan yang dimana orang yang berkorban itu tidak berpikir untuk mendapatkan pujian dan tidak berpikir untuk mendapatkan penilaian positif dari orang lain. Pengorbanan adalah apa yang kita bisa berikan untuk orang di luar agar mereka bisa menjadi lebih baik. Alkitab mengajarkan bahwa pada waktu kita berkorban justru kita tidak boleh berpikir bahwa kita sedang berkorban. Ini karena pengorbanan itu nilainya adalah panggilan. Ketika kita melihat orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37), orang Samaria itu justru berkorban secara total untuk orang yang sudah dirampok, dipukuli, dan mengalami sakit penyakit. Dia berani berkorban bahkan sampai menitipkan orang itu untuk dirawat di tempat yang baik, sementara orang-orang Lewi yang pulang dari ibadah itu tidak peduli dan tidak bertindak untuk menyembuhkan. Yesus kemudian bertanya tentang siapa yang menjadi sesama dan siapa orang yang benar. Jawabannya adalah orang yang bertindak benar, dan bukan hanya melihat yang benar. Pengorbanan harus dikaitkan dengan Kerajaan Tuhan, bukan dikaitkan untuk citra diri.
Mengapa seseorang mau berkorban? Ada banyak orang yang mau berkorban agar orang lain menilai bahwa dirinya baik. Ada orang yang mau berkorban supaya dinilai sudah berhasil oleh orang lain. Ada orang yang berkorban demi mendapatkan cinta seseorang. Ada yang mau berkorban supaya mendapatkan keuntungan. Tetapi motivasi yang paling mendasar yang harus kita punya ketika kita berkorban adalah, seperti Musa, untuk menyatakan kebesaran Tuhan, supaya orang lain melihat Tuhan dan bukan melihat diri kita baik.
Apakah semua pengorbanan dapat disebut sebagai pengorbanan yang mulia (1 Korintus 13:3)? Ada orang yang berkorban secara total; seluruh hartanya dibagikan, nyawanya rela untuk dikorbankan, dirinya dibakar, tetapi Paulus berkata bahwa semuanya sisa-sia karena pengorbanannya bersifat antroposentris, tidak bersifat teosentris, tidak ada dasar kasih kepada Allah dan tidak ada dasar kasih kepada orang lain agar mereka melihat Tuhan. Pengorbanan seperti itu hanya bersifat sementara dan tidak bersifat sejati. Di dalam bagian inilah setiap kita harus memahami bahwa pengorbanan adalah panggilan. Tuhan berkata kepada murid-murid-Nya bahwa janda miskin itu memberi lebih banyak dan lebih berbahagia daripada orang kaya yang kelihatannya memberi lebih banyak. Janda miskin itu memberi dari kekurangannya, tetapi orang kaya itu memberi dari kelimpahannya. Di dalam bagian ini kita harus mengerti agar kita jangan berkorban hanya ketika kita sudah menjadi orang kaya. Setiap kita, pada waktu sudah lahir baru, diberikan potensi untuk berkorban untuk Tuhan.
Jika demikian, apa dasar dari pengorbanan? (Yohanes 15:13) Dasar dari pengorbanan yang sejati adalah kasih. Tuhan Yesus telah berkorban bahkan sampai mengorbankan nyawa-Nya sendiri. Kita yang mengikut Tuhan pun harus siap untuk berbuat demikian dan dikaitkan kembali dengan kasih Tuhan karena inilah dasarnya.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berkorban atau mengorbankan? Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berkorban dan bukan mengorbankan orang lain. Di dalam bagian inilah kita belajar bahwa pemimpin yang baik harus berani berkorban dan berkarakter Kristen. Musa pernah membuat tongkat dengan ular tembaga untuk bangsa Israel (Bilangan 21:9). Saat itu setiap orang Israel yang bersungut-sungut kepada Tuhan bisa mati jikalau mereka tidak melihat ular tembaga itu. Ular tembaga itu menyatakan bahwa ada kuasa. Yesus berkata “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan” (Yohanes 3:14). Yesus adalah Raja di atas segala raja. Dia-lah singa Yehuda. Dia seperti ular tembaga yang mengalahkan bisa ular. Orang yang dipagut ular melihat harus dengan iman dan meminta pengampunan karena sudah berdosa bersungut-sungut.
Dosa yang keji di mata Tuhan pertama adalah penyembahan berhala (Keluaran 20:3-5). Pada zaman sekarang kita tidak menyembah patung tetapi kita menyembah berhala kenikmatan yaitu gadget, games, dan hobi kita. Hal-hal ini mendatangkan satu kenikmatan dan kepuasan yang mengikat kita. Itulah hal yang sangat dibenci Tuhan. Dosa yang kedua adalah perzinahan (Keluaran 20:14). Tuhan jijik dengan percabulan dan pencemaran. Tuhan membenci kemunafikan (Matius 6:2), yaitu bagian luar dan dalam berbeda, mulut dengan realita berbeda, dan berani menghilangkan identitas dan berkompromi secara sembunyi-sembunyi. Tuhan juga membenci orang yang suka bersungut-sungut (1 Korintus 10:10). Inilah dosa orang Israel yang sangat dibenci oleh Tuhan.
Ketika seorang pemimpin menjadi pemimpin yang berkorban, maka ia telah menjadi pemimpin yang bersifat Kristen. Di sini kita akan belajar bagaimana Musa bisa disebut sebagai pemimpin yang berkorban.
Pemimpin yang Berkorban
Ketika Musa pertama kali muncul sebagai orang yang mau membela bangsanya, ia bertindak dengan caranya sendiri yaitu dia membunuh tentara Mesir yang menyiksa saudara sebangsanya itu (Keluaran 2:11-12). Dia berpikir bahwa orang Ibrani akan membela dirinya tetapi justru orang Ibrani mempertanyakan kuasa dan otoritas Musa (Keluaran 2:14). Di dalam bagian inilah Musa merasa begitu percaya diri karena ia adalah putra dari putri Firaun. Dia adalah satu-satunya orang Ibrani yang memiliki pendidikan modern pada saat itu dan dia adalah orang yang paling terhormat di antara orang-orang Ibrani. Dia merasa punya kedudukan, uang, dan apapun juga. Ketika dia melihat itu, dia merasa bahwa dirinya pantas menjadi pemimpin. Ini membuat dirinya berani membunuh orang Mesir itu dengan strateginya sendiri. Di dalam bagian inilah kita tahu bahwa kejadian ini mendatangkan satu pukulan dan satu pintu tantangan bagi Musa. Ia harus membuat pilihan. Jikalau dia mau membela diri karena statusnya maka Musa pasti bisa. Dia bisa berbicara dengan ibu angkatnya dan meminta pembelaan sehingga ia dianggap tidak sengaja membunuh pegawai istana. Namun Musa tidak memilih pilihan itu (Ibrani 11:24-27). Musa marah karena orang Mesir menyiksa orang sebangsanya. Musa merasa lebih baik tidak disebut sebagai putra dari puteri Firaun. Ia merasa lebih baik menderita sama seperti orang Ibrani daripada menikmati seluruh fasilitas Firaun. Ia merasa lebih baik dihina karena Kristus daripada mendapatkan satu upah dosa karena penderitaan ini dianggap sebagai harta yang berharga.
Di dalam bagian inilah Musa meninggalkan hidup yang penuh kenikmatan yang dilihat sebagai dosa. Dia merasa lebih baik memilih untuk pergi ke Midian, pergi ke padang gurun, ke tempat yang jauh. Dengan iman dia melangkah. Di dalam bagian inilah yang dinamakan pengorbanan yaitu pengorbanan yang berani meninggalkan kenikmatan hidup karena dosa (Ibrani 11:24-26). Ia memulai sesuatu yang baru berdasarkan iman. Maka di sini saya mengatakan bahwa iman menjadi kunci yang mengajarkan kepada kita tentang nilai pengorbanan. Dan jikalau bukan karena iman, maka seluruh pengorbanan kita akan menjadi pengorbanan yang bersifat horizontal saja yang akan musnah di dalam ruang dan waktu. Tetapi pada saat Musa berani berkorban karena iman, ada aspek kekuatan kasih yang mendorong dirinya untuk berani berkorban, dan di dalamnya ada konsep bahwa Musa tidak mau disebut sebagai putra dari putri Firaun dan mau menderita bersama orang-orang sebangsanya demi Kristus, di situlah Musa melakukan pengorbanan yang sejati.
Ciri orang yang sudah bertobat yang paling penting adalah perubahan cara pandang tentang uang, waktu, kenikmatan, karier, dan hal penting lainnya. Maka perubahan paradigma yang harus ditanamkan oleh guru Kristen adalah untuk menyadarkan orang yang diajar dan harus dikaitkan dengan Tuhan. Menjadi sumber agen perubahan dan dikaitkan dengan tanggung jawab inilah yang menjadi keunikan guru Kristen. Maka dari itulah guru-guru Kristen harus dipersiapkan dengan iman, kasih, dan punya satu nilai untuk mengajar perubahan paradigma bagi setiap murid. Sikap bertanggung jawab dalam pendidikan itu harus berdasarkan Alkitab, jadi di dalam bagian inilah filsafat pendidikan itu sangat penting karena dasarnya adalah Alkitab. Jikalau engkau menjadi guru Kristen tetapi tidak ada filsafat Kristen maka sebaiknya jangan menjadi guru. Di dalam hal inilah kita perlu belajar.
Setelah keluar dari Mesir, Musa pergi ke Midian. Ia tidak tahu tempatnya dan tidak tahu fasilitasnya. Dia pergi dengan iman dan dia bertemu dengan anak-anak dari Yitro. Dia bertemu dengan Zipora dan dia menikah dengannya. Status Musa menjadi gembala kambing dan domba. Musa belajar merendahkan hati ketika menjadi gembala. Sebelumnya ia terus menikmati kehormatan karena kedudukannya sebagai putra dari putri Firaun. Setelah itu dia belajar menggembalakan kambing dan domba dan dia harus belajar merendahkan hatinya. Musa melakukan pengorbanan secara status atau martabat, kenyamanan fisik, dan pengetahuan selama ia menjadi gembala kambing dan domba. Di dalam aspek-aspek inilah Musa harus belajar untuk merendahkan hati ketika dia menjadi gembala. Ini adalah pengorbanan supaya ia memiliki hati yang lebih mulia. Ketika engkau belajar untuk berkorban, maka janganlah melihat dirimu sedang berkorban karena dirimu sedang diajar dan dipersiapkan oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin yang besar. Pemimpin yang diinginkan oleh Tuhan adalah pemimpin yang sempurna serta punya nilai keteladanan dan ketaatan.
Ada hal yang Musa lupakan yaitu sunat. Zipora adalah orang Midian yang tidak dibesarkan dengan iman orang Israel, jadi dia tidak pernah mengerti tentang sunat. Ketika dia tahu bahwa suaminya akan menjadi orang rohani yang besar dan ketika dia tahu bahwa Tuhan sedang marah kepada Musa dan akan membunuhnya karena urusan sunat, dia kemudian mengambil tindakan sendiri. Ia mengambil pisau batu yang sudah diasah dan anaknya disunat. Dari peristiwa ini Musa sadar sekali bahwa ini adalah satu misi yang besar. Banyak penafsir mengatakan bahwa setelah peristiwa itu Zipora dan anak-anaknya dipulangkan ke Midian. Mereka tidak ikut program misi, yaitu eksodus, dimana Musa memimpin orang Israel keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan, karena ini berisiko besar. Di dalam bagian inilah dikatakan bahwa Musa bukan pemimpin yang tipenya kekanak-kanakan. Dia bisa membedakan antara emosi untuk Tuhan dan emosi untuk keluarga.
Musa harus terpisah dengan keluarga setelah peristiwa “pengantin darah” (Keluaran 4:25-26). Musa harus berfokus pada misi eksodus. Ketika Yitro mendengar bahwa Musa sudah memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, ia membawa kembali anaknya yaitu Zipora dan cucu-cucunya agar bertemu dengan Musa (Keluaran 18:1-4). Di dalam bagian inilah kita tahu bahwa menjadi pemimpin yang dituntut adalah suatu pengorbanan. Kadang-kadang pengorbanan yang paling dituntut adalah dirimu, tetapi terkadang keluargamu. Pengorbanan keluarga ini bukan jangka panjang tetapi bersifat sementara dan Tuhan memakai Yitro untuk membawa keluarganya bertemu dengan Musa. Kita tahu bahwa keputusan Musa ini adalah supaya dia bisa berfokus memimpin satu misi yang besar. Dia harus berfokus menyatakan Tuhan yang besar di hadapan seluruh umat Israel yang sangat tegar tengkuk. Di sini kita belajar bahwa pengorbanan terkadang menuntut kita di dalam satu nilai relasi yang salah satunya adalah keluarga kita. Tetapi ini harus dilihat dalam program jangka pendek dan bukan jangka panjang.
Selama Musa menjadi pemimpin bagi bangsa Israel, Musa sering dipersalahkan oleh bangsa Israel (sungut-sungut). Paulus berkata bahwa orang yang sering bersungut-sungut pada akhirnya akan dihukum mati oleh Tuhan (1 Korintus 10:10). Pada waktu mereka terus bersungut-sungut, Tuhan mengirimkan api yang menghanguskan mereka (Bilangan 11:1-3). Mereka masih bersungut-sungut lagi setelah itu. Tuhan kemudian mengirimkan ular-ular tedung sehingga mereka mati (Bilangan 21:6). Mereka kemudian mengaku dosa mereka dan Tuhan memberikan mereka ular tembaga sehingga yang melihatnya dengan iman akan selamat. Setelah itupun mereka masih bersungut-sungut dalam peristiwa 12 pengintai (Bilangan 13 dan 14). Dari 12 pengintai hanya 2 orang yang memberikan laporan yang positif yaitu Yosua dan Kaleb. Pengintai-pengintai yang lainnya bersungut-sungut bersama dengan banyak orang Israel. Kemudian Tuhan berkata bahwa yang bisa masuk ke tanah Kanaan adalah orang yang berumur 20 tahun ke bawah, yang masih bisa dibentuk. Semua orang yang bersungut-sungut tidak bisa masuk ke dalam tanah Kanaan.
Dalam Bilangan 16 dinyatakan tentang kisah pemberontakan Korah, Datan, dan Abiram. Mereka mengajak bangsa Israel untuk memberontak melawan Musa. Mereka mempertanyakan kepemimpinan Musa dan mereka mau membuat tandingan. Di dalam bagian inilah Musa sering dipersalahkan. Hal yang menarik adalah Musa masih membela Israel ketika dia berhadapan dengan Tuhan. Musa masih mau memohon pengampunan bagi bangsa Israel. Dia masih membela orang Israel untuk menahan amarah Tuhan supaya orang Israel bisa melihat kemurahan Tuhan. Jadi, pemimpin terkadang berkorban secara batin. Otoritas Musa dipertanyakan oleh Korah, Datan, dan Abiram (Bilangan 16, band. 1 Korintus 10:10, dan Filipi 2:14-15). Ini berarti mereka sedang mempertanyakan otoritas Tuhan. Pada saat itulah sebenarnya Musa merasa berat hati tetapi dia tetap memohon pengampunan dari Tuhan karena bangsa Israel tetap tidak mengerti tentang Tuhan yang mengangkat Musa sebagai pemimpin. Di dalam 1 Korintus 10:10 Paulus berkata bahwa ada keadilan Tuhan. Filipi 2:14-15 mengingatkan kepada kita bahwa kita tidak boleh bersungut-sungut karena kita dipanggil bukan untuk bersungut-sungut. Apapun yang kita kerjakan pada dasarnya harus ada kerelaan dan jangan mempertanyakan Tuhan karena kita adalah orang-orang yang sudah ada di dalam Tuhan. Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa Ia mengorbankan nyawa-Nya untuk kita.
Kesimpulan
Kasih adalah dasar untuk sikap pengorbanan yang mulia (1 Korintus 13:3). Semua pengorbananmu jika tidak ada kasih kepada Tuhan, maka semuanya sia-sia. Pengorbanan cinta, pengorbanan adat, pengorbanan apapun juga, jika tidak dikaitkan dengan Kristus maka semuanya akan sia-sia.
Pengorbanan yang mulia adalah berani memberikan nyawa untuk Kerajaan Allah (Yohanes 15:13). Contoh dari pengorbanan ini adalah para martir. Semua hamba Tuhan bercita-cita untuk mati martir. Setiap kita yang mati sebagai martir akan tertulis dalam sejarah rohani karena mati demi penginjilan.
Pemimpin yang berkarakter Kristus adalah pemimpin yang rela untuk berkorban. Di dalam bagian inilah ketika kita menjadi pemimpin, kita tidah boleh hanya berpikir tentang uang. Banyak pemimpin memiliki mental kapitalis dan money-oriented sehingga tidak dikaitkan dengan Kerajaan Tuhan. Ini akan menjadi kapitalis yang bersifat sekuler murni. Segala hal patokannya adalah nilai uang. Akan tiba saatnya dimana orang ini bisa jatuh karena uang. Ada waktunya kita bekerja yang bukan bersifat profit. Ada waktunya kita bekerja bersifat profit tetapi bukan untuk keuntungan diri kita, misalnya untuk edukasi masyarakat. Sekarang ada pengusaha-pengusaha yang mau mengabdikan dirinya untuk menyejahterakan beberapa wilayah Kristen supaya mereka bisa lebih baik di dalam bertani, hasil bumi, dan lainnya. Para pengusaha ini tidak mendapat profit. Telah tiba saatnya mereka harus memikirkan orang lain karena Tuhan sudah mencukupi hidup mereka. Kita semua harus belajar tentang pengorbanan. Ini adalah karakter Kristus. Di sini kita belajar bagaimana kita terpanggil untuk berkorban supaya orang melihat Tuhan dan bukan diri kita. Dan setiap dari kita harus menolak segala sesuatu yang sifatnya hanya kenikmatan dunia. Pada waktu kita sedang dibentuk hatinya maka kita harus taat. Tuhan memberkati kita semua.
MUSA – PENGANTIN DARAH (Pdt. Tumpal H. Hutahaean, M.Th.)
Hari ini kita akan membahas Firman Tuhan dengan satu tema yang hanya sekali tercatat di dalam Alkitab yaitu ‘pengantin darah.’ Istilah ini ada dan dinyatakan oleh Zipora. Dalam bagian inilah kita akan mengerti mengapa Tuhan marah dan mengapa Tuhan ingin membunuh Musa. Kita juga akan membahas mengapa Tuhan seperti tidak memberikan waktu lagi dan mengapa Tuhan harus mengambil tindakan yang langsung. Zipora peka akan hal ini dan ia bertindak sendiri. Musa sendiri pada waktu itu tidak peka bahwa Tuhan di dalam pertemuan itu ingin membunuh dia. Mari kita membaca Keluaran 4:25-26.
PENDAHULUAN
Pernakah kita lalai sebagai orang tua dalam menjalankan tanggung jawab kita terhadap anak-anak berkaitan dengan perintah Tuhan? Dalam bagian ini kita bisa melihat kelalaian Musa. Musa sudah mengerti bahwa di dalam perintah Tuhan kepada Abraham ada tertulis bahwa anak berumur 8 hari harus disunat. Di dalam bagian ini kita melihat ada kelalaian dalam suatu hal yang kecil yang bisa berakibat fatal. Jadi di sini kita tidak boleh menyepelekan perintah-perintah Tuhan. Kita tidak boleh menganggap firman Tuhan sebagai hal yang tidak penting. Ketika kita diminta untuk membaca Alkitab setiap hari, mungkin itu kelihatannya sepele tetapi itu sesungguhnya penting di mata Tuhan. Hal yang kelihatannya mudah seperti berdoa justru kadang-kadang kita tidak lakukan, padahal di mata Tuhan itulah sesuatu yang penting.
Mengapa Tuhan ingin membunuh Musa? (band, Kej 17:7-14) Abraham diminta oleh Tuhan agar setiap anak laki-laki di dalam rumahnya, termasuk setiap anak laki-laki dari budak yang lahir di rumahnya harus disunat. Jikalau tidak disunat maka dikatakan konsekuensinya adalah kematian (ay. 14). Mengapa hal ini dianggap penting? Bukan metode sunat yang dianggap paling penting. Sunat mengandung nilai substansi iman orang percaya. Orang tua membawa anak laki-lakinya dan mempersembahkannya sebagai anak perjanjian bagi Tuhan. Ini bersifat tanda. Jadi ini adalah tanda perjanjian bahwa anak-anak yang diserahkan kepada Tuhan akan dididik secara iman, bukan hanya dibesarkan secara lahiriah saja.
Apakah Musa tahu bahwa kovenan antara Tuhan dengan Abraham itu mutlak penting? Ya, Musa tahu. Mengapa ia tidak segera untuk menyunat anaknya? Alkitab mencatat bahwa ketika Musa berumur 40 tahun, dengan iman dia menolak disebut sebagai putra dari kerajaan Firaun. Dengan iman dia memutuskan bahwa dia lebih baik pergi ke Midian. Kita tahu bahwa setelah itu dia bertemu dengan keluarga Yitro dan anak-anaknya. Akhirnya dia menikah dengan Zipora dan dia mendapatkan 2 anak. Ia hidup di sana selama 40 tahun dan Tuhan baru ingin membunuh Musa ketika ia memasuki umur yang ke-80 tahun lebih. Pada saat itu kita tahu bahwa Musa telah lalai cukup lama. Musa memang disebutkan sebagai orang yang paling lembut hatinya. Musa dapat dinilai sebagai seorang laki-laki yang memiliki kepekaan terhadap Tuhan, tetapi justru di dalam bagian ini kita tahu bahwa dalam proses pembentukannya Musa bukan orang yang peka. Dia lembut hatinya maka dia tidak mau ribut. Dia lembut hatinya maka dia tidak mau mendesak. Maka di sini ada sisi baiknya dan juga ada sisi yang tidak baik, yang mengakibatkan kemarahan Tuhan.
Mengapa Musa lalai dalam menjalankan penyunatan terhadap Gersom? Dan mengapa Zipora yang melakukan penyunatan ini? Siapa yang terancam? Gersom dan Musa itu sendiri. Kita akan membahas lebih dalam mengenai hal ini.
PEMBAHASAN
Mengapa Allah mau membunuh Musa? Musa adalah hamba Allah yang diutus untuk memerdekakan orang-orang Israel, membawa mereka keluar dari tanah Mesir, dan memimpin mereka ke tanah Kanaan. Namun ada satu hal yang kurang dari Musa, yaitu ia melupakan ketaatan sebagai orang tua dalam menyunat anaknya yaitu Gersom. Tuhan sebelumnya berkali-kali memperingatkan Musa untuk menyunat anaknya pada hari yang kedelapan seperti perintah Tuhan kepada Abraham. Namun Musa pada akhirnya tidak menjalankan perintah ini. Di dalam bagian ini mungkin kita bisa bertanya: bukankah Musa sedang diutus oleh Allah untuk pergi ke Mesir? Apakah misi Tuhan bisa gagal? Kita percaya bahwa misi Tuhan tidak pernah tergantung oleh kehidupan manusia. Di dalam bagian ini Allah ingin Musa menjadi pemimpin dan menjadi teladan di dalam ketaatan yang sempurna. Tuhan mau Musa menjadi contoh yang baik untuk generasi berikutnya. Di sini kita bisa mengerti mengapa ini dianggap penting oleh Tuhan.
Sunat adalah tanda Perjanjian antara Tuhan dengan Abraham sebagai tanda perjanjian iman. Konsekuensinya adalah jika anak laki-laki tidak disunat maka hukumannya adalah kematian (Kej 17:7-14). Bukan jumlah anaklah yang paling penting, tetapi seberapa berkualitas anak kita. Orang Kristen yang menikah bisa punya anak tetapi kualitas anak itu lebih penting daripada jumlah anak itu sendiri. Tuhan menganugerahkan jumlah anak kepada orang-orang percaya dan kualitas anak-anak itu dibangun oleh iman orang tua itu sendiri. Jadi jangan berpikir bahwa dalam pernikahan tidak perlu iman. Pada waktu sudah akan menikah itupun perlu iman. Banyak di antara kita lupa akan bagian ini. Tuhan mengingatkan kepada Musa bahwa anak bukanlah sekadar buah cinta tetapi anak adalah buah iman. Ketika anak-anak itu lahir, orang tua harus bisa memutuskan dengan iman mau dibawa kemana hidup mereka. Ketika anak-anak itu lahir, orang tua harus mendidik dan membesarkan agar anak-anak itu bisa meraih masa depan untuk memuliakan Allah. Di sinilah tanda perjanjian iman itu dapat dilihat sebagai tanda penyertaan Tuhan. Jikalau anak itu disunat maka anak itu menjadi anak perjanjian.
Jadi di sini kita sadar bahwa dalam mendidik anak, orang tua hanya bisa melakukan apa yang dia bisa karena bagaimanapun anak juga mempunyai lingkungannya sendiri, anak punya budayanya sendiri, anak punya zamannya sendiri, dan orang tua tidak akan sanggup menjadi polisi yang bisa menjaga anak-anak selama 24 jam dalam sehari. Tetapi kita percaya bahwa ada Tuhan, ada Pemilik dari anak itu yaitu Tuhan Yesus Kristus. Jadi di dalam bagian ini sunat pada hari kedelapan bukanlah hal yang sepele. Di dalam Perjanjian Baru memang tidak lagi dipentingkan sunat pada hari yang kedelapan tetapi diganti menjadi baptis bayi. Keduanya bernilai sama, substansinya sama. Jadi sunat tidak menyelamatkan, baptis bayi tidak menyelamatkan tetapi substansinya sama yaitu soal iman orang tua. Orang tua dengan iman menyerahkan anak-anaknya dan dipercayakan kepada Tuhan untuk hidup bagi Tuhan. Apa konsekuensinya jika melanggar perintah ini? Konsekuensinya adalah kematian. Jadi di dalam bagian ini sebetulnya kita mengerti bahwa seharusnya Gersom dan Eliezer dihukum mati. Tuhan menanti dengan sabar karena sampai umur 80 tahun lebih Musa tidak melaksanakan perintah sunat. Ia akan menjadi pemimpin bangsa Israel tetapi ternyata belum melakukan penyucian bagi keluarga itu. Sebetulnya Tuhan sudah panjang sabar. Di sinilah kita mengerti bahwa Tuhan menunggu Musa yang tidak peka. Musa pergi ke Mesir dan Tuhan mau bertemu dengannya untuk membunuhnya. Zipora pada saat itu peka sekali terhadap semuanya ini dan ia bertindak.
Mengapa Musa lalai menjalankan perintah sunat ini? Bukankah perintah ini sangat penting? Di dalam sebuah tafsiran dikatakan bahwa Zipora sebagai orang Midian tidak terbiasa melihat anak-anak kecil disunat dan menjerit kesakitan. Dia tidak terbiasa melihat anak-anak kecil berumur 8 hari disunat maka dia tidak tega. Di dalam bagian ini perasaan tidak tega bisa membuat kita kompromi. Ternyata di dalam ilmu kedokteran dinyatakan bahwa pembekuan darah yang terbaik untuk menyembuhkan luka pada bayi adalah pada hari kedelapan. Maka dari penelitian di seluruh dunia, banyak orang mengakui apa yang dikatakan oleh Tuhan mengenai perintah penyunatan pada hari yang kedelapan. Zipora sebagai orang Midian tidak terbiasa dalam bagian ini. Zipora menolak sunat terhadap bayi. Mungkin karena ia tidak tega. Musa juga tidak berani untuk memaksanya dan membiarkan hal ini bertahun–tahun. Ketika Musa diutus ke Mesir, ternyata pengutusan itu mengandung satu tuntutan ketaatan dan tanggung jawab. Dari tuntutan itu ternyata ada sesuatu yang Musa lupakan yaitu soal penyunatan. Di dalam peristiwa ini, nyawa siapa yang sebenarnya terancam? Musa atau Gersom? Pasti kita setuju berdasarkan Kejadian 17 seharusnya yang dibunuh adalah Gersom. Musa adalah pemimpin dan Musa dipersiapkan oleh Tuhan untuk menjadi orang yang sungguh-sungguh siap memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir menuju ke tanah Kanaan. Seorang pemimpin dituntut untuk sempurna di dalam memimpin keluarganya.
Di dalam surat Timotius dikatakan bahwa orang yang mau melayani Tuhan harus menjadi contoh yaitu kepala keluarga yang bisa mengatur keluarganya. Ia harus menjadi kepala keluarga yang memiliki nama yang baik di masyarakat. Di dalam bagian ini, Tuhan menilai Musa belum menjadi contoh yang baik dalam hal mengelola keluarga. Maka Tuhan menjadi marah dan Tuhan mau membunuh Musa. Musa tidak peka saat itu, justru istrinyalah yang peka. Di sinilah Zipora menjadi istri yang baik karena dia peka terhadap pertemuan itu. Dia punya satu kepekaan dan dia tahu bahwa ada sesuatu yang belum dijalankan yaitu perintah sunat. Dia mengasihi Musa dan mengasihi anak-anaknya dan di saat itulah kita tahu bahwa dia melakukan penyunatan itu. Dari mana Zipora tahu tentang cara penyunatan dengan baik? Pasti dia belajar dari dan bertanya kepada Musa. Pada saat itu Gersom tidak dinyatakan berapa umurnya, tetapi jikalau kita melihat periode waktu dari Musa sampai di padang belantara dan menjadi gembala kambing dan domba serta menikah dengan Zipora selama 40 Tahun lebih, maka kita dapat mengetahui bahwa pada saat itu Gersom sudah dewasa. Pada saat itu dikatakan bahwa Zipora langsung menyunat tanpa ada diskusi dengan Musa dan tanpa ada diskusi dengan Gersom. Ini menunjukkan kepada kita bahwa ini adalah detik-detik yang genting.
Setelah itulah kita melihat istilah yang disebut oleh Zipora yaitu ‘pengantin darah.’ Setelah dia menyunat Gersom, kulitnya dibuat menyentuh kaki Musa dan ia menyebut “sesungguhnya engkau pengantin darah bagiku” (ay. 25). Beberapa penafsir melihat istilah ‘pengantin darah’ ini sebagai istilah kepemilikan melalui nilai pengorbanan. Di dalam eskatologi kita mempelajari bahwa semua orang percaya akan bertemu tatap muka dengan Tuhan Yesus. Ketika pertemuan itu dicapai, kita akan disebut sebagai mempelai wanita dan Yesus akan disebut sebagai mempelai laki-laki. Di dalam bagian inilah kita mengerti bahwa pengantin darah punya satu nilai posesif, satu nilai kepemilikan melalui nilai pengorbanan. Ini mengingatkan kepada kita bahwa ketika anak kecil berumur delapan hari disunat, ada darah yang tercurah. Dan darah itu mengingatkan akan satu kepemilikan di dalam nilai perjanjian antara orang tua dengan Allah Yahweh. Pada baptisan tidak ada darah lagi yang dicurahkan tetapi substansinya tetap sama dengan sunat. Anak bayi dibawa oleh orang tua dan dibaptis dalam Nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Anak itu menjadi milik Allah karena yang berkorban dalam Perjanjian Baru adalah Tuhan Yesus Kristus. Di sini menunjukkan kepada kita bahwa Zipora belajar tentang nilai teologi. Dia belajar tentang konsep biji mata Tuhan yang artinya dekat dengan Tuhan. Israel disebut sebagai anggur di dalam Perjanjian Lama. Anggur di dalam konteks Perjanjian Lama adalah sesuatu yang dekat, yang menjadi milik Tuhan, masuk ke dalam bagian Tuhan. Jadi ini bukan tanda sukacita saja tetapi sesuatu yang dekat yang menjadi milik Tuhan.
Siapa yang disebut “pengantin darah”? Yang disebut sebagai pengantin darah adalah Musa. Ada yang menafsir bahwa pengantin darah itu adalah Zipora karena Musa akan dibuat menjadi pemimpin yang besar. Dengan demikian maka pernikahannya harus dikuduskan, pernikahannya harus sah, bukan melalui Yitro tetapi melalui darah. Tetapi sebenarnya tetap istilah itu ditujukan kepada Musa. Bagaimana Zipora tahu bahwa Allah hendak membunuh Musa? Kepekaan Zipora tidak dicatat dengan jelas. Apakah dia bisa melihat Tuhan? Jawabannya tidak bisa karena Allah itu Roh adanya. Allah itu suci, tetapi bagaimana dia bisa peka? Ini adalah sesuatu yang luar biasa. Seorang istri selalu punya kepekaan yang dimensinya ada di atas para suami dan kepekaan itu tidak bisa dirasionalkan. Di dalam bagian inilah kita tahu bahwa Zipora punya kepekaan, sedangkan Musa tidak peka dan Musa pun tidak tahu bahwa Zipora melakukan penyunatan. Bagaimana Zipora tahu tentang cara menyunat dengan benar? Kita tahu pasti bahwa dia sudah belajar dalam pertolongan Tuhan, maka semuanya bisa terjadi.
Apa yang dapat kita pelajari dari cerita ini?
Sunat secara lahiriah di Perjanjian Lama tidak berlaku lagi. Di Perjanjian Baru diganti dengan sunat secara rohani yaitu dibaptis dalam Yesus Kristus (Kol 2:11-13). Pada waktu Perjanjian Lama mengatakan bahwa pada hari kedelapan anak harus disunat, kita di dalam Perjanjian Baru mengizinkan adanya baptisan anak. Ini substansinya sama. Kita bisa menjadi milik Tuhan ketika kita melalui kelahiran baru karena di dalam kelahiran baru itulah kita boleh sungguh bersatu dengan Kristus dan kita bisa mengalami baptisan di dalam Yesus Kristus. Dalam penyunatan pada hari kedelapan dan pembaptisan pada waktu masih bayi, orang tua beriman bahwa anak ini akan dididik secara rohani. Orang tua berharap agar ketika anak ini sudah dewasa, dia menjadi orang yang lahir baru dan dia mengalami baptisan secara pribadi karena dipercayakan kepada Yesus, Sang Juruselamat. Baptisan ini sangat penting dan tidak boleh dianggap remeh karena ini menyangkut masalah perjanjian iman antara Tuhan dengan kita sebagai orang tua. Bagaimana dengan orang Kristen yang belum dibaptis? Mereka harus segera dibaptis. Apakah benar bahwa baptisan itu menyelamatkan? Tidak, tetapi baptisan itu merupakan konfirmasi dari kita yang berkomitmen di hadapan Allah Tritunggal dan jemaat-Nya. Kita mau sungguh-sungguh menjadi anak-anak Tuhan yang taat di dalam bergereja, membaca Alkitab, di dalam penginjilan, dan lain-lain serta siap menjadi anggota tubuh Kristus di dalam ikatan gereja yang kelihatan.
Bagaimana dengan baptisan bayi? Ini penting karena menyangkut iman orang tua dalam mendidik anak secara iman dan tanggung jawab. Ada banyak orang tua Kristen yang melihat anak sebagai buah cinta saja. Mereka tidak pernah berpikir bahwa anak itu adalah buah iman dari suami dan istri. Alkitab menyatakan bahwa dua orang yang disatukan oleh Tuhan harus satu imannya. Berdasarkan 2 Korintus 6, Alkitab menyatakan bahwa dua orang ini tidak boleh berbeda imannya, tidak boleh berbeda kepercayaannya. Mereka tidak boleh berbeda arah. Ini tidak lain mengajarkan bahwa mereka harus beriman kepada Allah Tritunggal. Mereka harus percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang menyucikan, melengkapi, dan memakai diri mereka sebagai anak-anak-Nya. Bagian ini tidak boleh dikompromikan. Suami dan istri dipersatukan dalam nama Allah Tritunggal. Mereka bukan lagi dua melainkan satu dan Allah yang menyatukan mereka. Maka ketika kita punya anak di dalam kualitas, iman itulah yang perlu kita hadirkan kepada anak anak kita supaya anak-anak kita kelak menjadi dewasa secara iman, mental, dan karakter yang serupa dengan Kristus.
Jangan kita menganggap kemarahan Allah terhadap Musa sebagai peristiwa yang remeh. Maka kita jangan sampai menganggap baptisan sebagai hal yang tidak penting. Kita tidak boleh menganggap pembacaan Alkitab, berdoa, dan menyatakan Firman Tuhan sebagai hal yang tidak penting. Jika engkau mendapatkan kemarahan Tuhan karena melalaikan hal-hal ini maka engkau tidak boleh menyalahkan Tuhan. Engkau seharusnya menyalahkan dirimu sendiri yang meremehkan perintah Tuhan. Di dalam bagian ini kita harus belajar bahwa perintah Tuhan itu penting.
Mari kita belajar menjadi pemimpin yang menjadi contoh untuk generasi di depan kita. Musa menjadi pemimpin bangsa Israel dan ternyata ia juga dituntut oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin secara rohani. Dia harus terus menerus bergantung kepada Tuhan dan bukan hanya mengandalkan kemampuan berorganisasi atau ilmu kepemimpinan. Dia disertai dan diberikan kuasa oleh Tuhan dalam menjalankan panggilannya karena tanpa itu dia tidak mungkin berhasil. Kita tahu bahwa ada orang-orang yang tidak pernah belajar sampai ke luar negeri namun sukses dalam membangun usaha dari nol. Banyak orang yang berpendidikan tinggi yang bekerja untuk orang-orang yang tidak sekolah. Maka di dalam hidup ini kita baru tahu bahwa sekolah yang paling penting bukanlah hanya akademis tetapi sekolah yang paling penting adalah sekolah ketaatan kepada Tuhan. Kadang kita melupakan hal ini. Kita tidak boleh hanya melihat fenomena tetapi kita harus terus meminta penyertaan Tuhan. Di dalam bagian inilah kita harus sadar bahwa menjadi pemimpin organisasi itu bisa dilatih tetapi menjadi pemimpin rohani itu membutuhkan pelatihan langsung dari Tuhan. Musa dituntut oleh Tuhan agar menjadi orang yang begitu sempurna di dalam ketaatan kepada Tuhan kerena dia akan dijadikan pemimpin dan teladan.
Pengantin darah menunjukkan kepemilikan dengan adanya pengorbanan dan Yesus Kristus. Dia adalah pemilik atas seluruh hidupmu karena Dia sudah lahir dan Dia sudah menyatakan karunia-Nya. Dia sudah mati dan bangkit dan kita sudah ditebus oleh darah-Nya. Semua sudah lunas dibayar dan Dia adalah milik kita. Jadi jangan sampai kita menganggap bahwa diri kita adalah milik kita sendiri. Kita harus melihat bahwa diri kita adalah milik Kristus dan harus dikembalikan kepada Kristus. Jadi jangan beranggapan bahwa anakmu itu adalah milikmu. Anak kita hanyalah titipan dari Tuhan. Dengan kesadaran ini kita tidak akan terjebak dan kita tidak akan terjatuh karena urusan punya anak. Ada waktu dimana kita mengerjakan apa yang kita bisa dan ada waktu dimana Tuhan bertindak untuk kita. Tuhan memberkati.
MENGERTI MAKNA SABAT YANG SEJATI (Vik.Tommy S.)
Bapak ibu sekalian kita sudah masuk ke dalam minggu pertama di dalam tahun yang baru ini. Saya mengajak kita untuk merenungkan tentang Sabat. Saya berharap dari perenungan kita pada hari ini, kita bisa mengerti dan menghayati Sabat. Jangan sampai kita datang beribadah hanya karena mengikuti tradisi Kristen atau karena ada suatu tuntutan, ada tekanan sosial. Jikalau kita gagal memahami makna Sabat yang sejati maka pada akhirnya kita datang beribadah hanya sekadar untuk menjalankan hukum atau tradisi tanpa mengerti makna yang sesungguhnya. Mari kita membaca Matius 12:1 -15a.
Jikalau kita melihat tentang hari Sabat maka pertama-tama kita bisa melihat dalam Kitab Kejadian pasal mula-mula dimana Allah menciptakan dunia dalam enam hari dan di hari yang ketujuh dikatakan bahwa Allah berhenti. Dalam perjalanan Musa dan bangsa Israel keluar dari Mesir dan menuju gunung Sinai untuk beribadah kepada Tuhan kita mengetahui bahwa bangsa Israel sempat mengeluh dalam hal makanan. Mereka berpikir akan mati kelaparan di tengah padang gurun yang gersang. Tuhan kemudian memberikan roti yang disebut ‘manna.’ Pada saat itu Tuhan sekaligus menyatakan perintah tentang Sabat. Dikatakan bahwa bangsa Israel selama enam hari bisa keluar dari tendanya dan memungut manna dengan jumlah yang cukup untuk seluruh anggota keluarga mereka. Tetapi pada hari keenam mereka harus mengumpulkan sebanyak dua kali lipat dari biasanya karena pada hari ketujuh roti tersebut tidak akan ada di luar perkemahan. Pada hari ketujuh mereka tidak boleh keluar mencari manna. Roti yang didapat pada hari keenam tersebut akan bertahan sampai hari esoknya, tidak seperti hari-hari lainnya dimana manna hanya bisa bertahan dalam satu hari saja. Setelah perintah itu dinyatakan ternyata ada orang-orang Israel yang bandel. Mereka mencari manna pada hari ketujuh. Tuhan menegur bangsa Israel karena tidak menguduskan Sabat.
Di dalam Sepuluh Perintah, Tuhan menyatakan perintah kuduskanlah hari Sabat. Tidak hanya bangsa Israel, para budak dan hewan-hewan pun harus beristirahat pada hari itu. Pelanggaran terhadap perintah ini ternyata hukumannya sangat serius. Hukumannya adalah kematian. Bagian ini mungkin membuat kita bertanya; sebegitu pentingkah perayaan Sabat ini? Jika kamu menghina orang tuamu dan engkau dihukum mati maka hal ini bisa dapat dimengerti karena orang tua adalah wakil Tuhan. Jika ada orang yang melanggar kekudusan bait Allah maka dia harus dihukum mati seperti Nadab dan Abihu yang mempersembahkan api yang asing di hadapan Tuhan. Hal ini saya bisa mengerti. Alkitab menceritakan tentang orang yang melanggar hari Sabat denganmengumpulkan ranting-ranting kayu. Orang ini dihukum mati dan ini membuat saya bingung. Bukankah ini hal yang sepele sekali? Mengapa hukumannya begitu keras? Jika kita tidak mengerti makna Sabat, jika kita hanya melihat hari Sabat sebagai hari perayaan biasa saja, maka kita akan berpikir bahwa hukuman mati itu terlalu berlebihan. Namun jika kita mengerti dengan benar maksud hari Sabat itu dan Sabat itu merujuk ke arah mana, maka barulah kita mengerti bahwa hukuman mati itu tepat. Jika ibadah dan Sabat tidak dimaknai dengan benar maka sebenarnya kita sudah gagal. Seandainya kita pernah melakukan hal itu, itu tidak berarti bahwa ibadah kita sia-sia, tetapi berkat yang kita terima di dalam hari Sabat itu tidak akan maksimal dan kita tidak menyenangkan Tuhan.
Dalam bagian yang sudah kita baca, pertama-tama dinyatakan bahwa Yesus berjalan di ladang gandum. Pada waktu mereka kelaparan, murid-murid-Nya memetik bulir gandum. Hal itu dilihat oleh orang Farisi. Mereka dinilai melakukan hal yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat. Jikalau kita melihat kisah Israel dalam Perjanjian Lama maka kita akan menemukan banyak sekali teguran dari para nabi tentang bagaimana mereka tidak mengindahkan hari Sabat. Para nabi seperti Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel menyatakan bahwa mereka merayakan Sabat tetapi tidak dengan cara dan hati yang benar. Dikatakan bahwa perayaan Sabat mereka melelahkan Tuhan. Mereka tidak bosan melakukan dosa itu sampai dikatakan Tuhan itu capek. Tentu saja ini tidak berarti harfiah. Telah dinyatakan di dalam Kitab Yesaya dan Perjanjian Baru satu ayat teguran ‘bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku’ (Matius 15:8). Orang Israel bukan tidak beribadah, bukan tidak melakukan perayaan-perayaan seperti yang diperintahkan di dalam Alkitab. Mereka merayakan tetapi tidak dengan hati yang benar. Tuhan bukan melihat tampilan luar saja di dalam ibadah, tetapi Tuhan melihat dimana hati orang-orang yang beribadah karena ada orang-orang yang beribadah tetapi hatinya ada di tempat lain.
Ketika kita melakukan puasa, apakah kita hanya sekadar menahan lapar dalam kurun waktu tertentu atau ada hal lain yang lebih esensi daripada itu? Apa sebenarnya arti dari puasa? Apakah hanya sekadar melaksanakan hukum tanpa hati? Apakah kita sebagai orang Kristen sudah melakukan perintah-perintah Tuhan dengan hati yang benar? Kemarin di retret hamba Tuhan hal ini juga dibahas. Ini juga sebuah refleksi bagi kami para hamba Tuhan. Apakah hamba Tuhan berkhotbah hanya sekadar melakukan tanggung jawab dan tuntutan karena tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya untuk berkhotbah? Apakah hamba Tuhan menjalankan pelayanan itu dengan sepenuh hati? Begitu pula kita tadi berbicara tentang puasa; dimanakah hatimu? Jika kita berpuasa tetapi pikiranmu selama berpuasa berpusat pada menu buka puasa, maka dalam hal ini kita sudah gagal. Puasa itu bukan tentang fisiknya saja tetapi hatimu dimana saat kamu berpuasa.
Bangsa Israel ‘bertobat’ di masa antara Perjanjian Lama dan Baru. Di Perjanjian Lama mereka mendapat banyak sekali teguran tentang hari Sabat, bahkan setelah pulang dari pembuangan pun Nehemia menuliskan bahwa banyak dari orang-orang ini telah melanggar hari Sabat. Setelah ini akhirnya mereka punya komitmen untuk menjaga hukum dengan sebaik mungkin. Di masa antara ini mereka membuat sekte-sekte baru misalnya Zelot, Farisi, Saduki, dan Eseni. Dua yang paling kita ketahui adalah Farisi dan Saduki. Bagaimana mereka menjaga komitmen ini? Orang Farisi membuat sejumlah peraturan tambahan dari hukum Taurat. Peraturan yang sudah ada dibuat lebih detail lagi. Pada hari Sabat dikatakan bahwa Israel tidak boleh membawa ranting, tidak boleh menyalakan api, dan tidak boleh bekerja pada hari itu namun mereka membuat peraturan tambahan yaitu misalnya hanya boleh berjalan beberapa Kilometer dan hanya boleh mengangkat beban beberapa Kilogram. Bangsa Israel begitu ditekan dengan aturan-aturan yang ada lalu orang-orang Farisi mengatakan bahwa inilah Sabat yang harus dijaga baik-baik sampai setiap hukumnya. Benarkah hal ini? Tentu saja tidak karena mereka salah mengerti tentang Sabat.
Di dalam Kitab Kolose dijelaskan bahwa kita sudah ditebus oleh Yesus Kristus dan bahwa Sabat itu pada akhirnya menunjuk kepada Kristus. Semua yang di belakang itu hanyalah bayang-bayang yang menunjuk kepada Kristus. Kristus-lah penggenapan dari semua itu. Jadi jikalau ibadahmu terlepas dari Kristus maka ibadah itu telah kehilangan maknanya. Orang Farisi salah mengerti Sabat dan berfokus pada seperangkat hukum yang mereka buat ini. Saat orang Farisi memprotes Yesus dan para murid ternyata Yesus membalas dengan kisah Daud “tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka pengikutnya lapar, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam–imam? Atau tidakkah kamu baca dalam Kitab taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam–imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah?” (Matius 12:3-5). Ketika saya membaca bagian ini, saya agak bingung. Mengapa Tuhan membenarkan orang yang melanggar? Kemudian kita melihat selanjutnya Yesus menyatakan identitas-Nya “Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah” (ay. 6). Lalu di ayat ke-7 kita baru mengerti maksudnya “Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.”
Di dalam Teologi Reformed kita punya satu pengertian bahwa hukum-hukum yang Tuhan berikan ini bukanlah hukum yang kaku atau statis, semua harus dijalankan secara tepat, dan tidak ada yang boleh bertentangan. Namun ternyata ada kondisi-kondisi dimana suatu hukum itu lebih diprioritaskan daripada yang lain. Ini dijelaskan oleh Norman Geisler, seorang pakar etika Kristen. Ada hukum tertentu yang melebihi yang lain. Daud melanggar dengan makan roti sajian di Rumah Allah. Seharusnya hanya imam yang boleh, tetapi dia memakannya. Bukankah ini pelanggaran? Tetapi ini tidak melanggar. Di ayat ke-7 dinyatakan bahwa belas kasihanlah yang menjadi prioritas. Jika kita ada di posisi imam pada waktu itu, apakah kita akan berkata “Daud tidak boleh memakan roti ini, silahkan mati kelaparan di luar”? Imam Ahimelekh, tanpa berpikir banyak, mengatakan bahwa Daud dan para pengikutnya boleh memakan roti sajian itu asal mereka menjaga diri terhadap perempuan. Imam ini mengerti bahwa belas kasihan itu penting dan bukan sekedar menaati hukum-hukum tanpa mengerti esensinya.
Perkataan Yesus pada ayat ke-7 bukan berarti kita tidak perlu memberikan persembahan karena bukan itu intinya. Kita juga harus memberikan persembahan dengan hati yang benar. Apakah benar-benar ada hati untuk Tuhan? Atau kita memberikan persembahan karena tidak enak dilihat orang-orang, karena opini massa? Sekali lagi masalah ada di hati; memaknai atau tidak. Setelah itu “Setelah pergi dari sana, Yesus masuk ke rumah ibadat mereka. Di situ ada seorang yang mati sebelah tangannya. Mereka bertanya kepada-Nya: “Bolehkah menyembuhkan orang pada hari Sabat?” Maksud mereka ialah supaya dapat mempersalahkan Dia” (Matius 12:9-10). Orang-orang Farisi mencari kesalahan Yesus. Mereka bukan mencari keadilan tetapi mencari kesalahan-Nya. Yesus malah bertanya balik (ay. 11) “Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Jika seorang dari antara kamu mempunyai seekor domba dan domba itu terjatuh ke dalam lobang pada hari Sabat, tidakkah ia akan menangkapnya dan mengeluarkannya?” Di dalam Injil Matius juga Yesus menegur orang Farisi dalam hal menjalankan hukum. Mereka membuat hukum-hukum baru lalu membebani jemaat dengan itu, padahal mereka sendiri tidak bisa menjalankannya. Ini pemimpin agama macam apa? Yesus menyatakan bahwa mereka munafik.
Kemudian Yesus berkata “Bukankah manusia jauh lebih berharga dari pada domba? Karena itu boleh berbuat baik pada hari Sabat.” Kita mengerti bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah. Menumpahkan darah manusia itu berarti membunuh gambar dan rupa Allah. Tuhan keras sekali dalam hal menumpahkan darah gambar dan rupa Allah “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia” (Kejadian 9:6). Maka Reformed melihat bahwa hukuman mati itu boleh. Mengapa? Justru karena dia sudah menumpahkan darah gambar dan rupa Allah maka ada hukuman yang begitu serius terhadap orang itu. Nyawa manusia jauh lebih berharga daripada hewan. Tentu saja orang ateis tidak bisa berkata demikian karena orang ateis menganggap bahwa manusia sama seperti hewan. Bedanya hanyalah manusia jauh lebih pintar. Namun jika ada anak yang keterbelakangan mental maka mereka akan menyatakan bahwa hewan lebih berharga daripada anak itu. Tetapi kita mengucap syukur karena di dalam Alkitab dinyatakan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah. Manusia mempunyai tempat yang khusus di dalam tatanan penciptaan. Maka dari itu Tuhan menekankan pentingnya belas kasihan kepada sesama manusia. Tuhan menekankan bahwa boleh berbuat baik di hari Sabat. Kasih menggenapi hukum (Roma 13:8). Yesus kemudian menyembuhkan tangan orang itu. Tetapi setelah sembuh, orang Farisi bukannya bertobat dan memuji Allah karena mukjizat itu melainkan (Matius 12:14) “Lalu keluarlah orang-orang Farisi itu dan bersekongkol untuk membunuh Dia.” Ini adalah reaksi orang-orang yang tidak mau bertobat. Mereka salah mengerti Sabat, mengajarkan secara salah, dan kemudian Tuhan datang untuk memberitahu yang benar malah mereka tidak bisa menerima. Mereka lebih memilih apa yang sudah mereka diskusikan bersama dan tidak mau melihat Anak Allah yang datang.
Mari kita melihat Kolose 2:6-23. Dalam Surat Kolose ini Paulus menyatakan keutamaan Kristus. Paulus dalam bagian ini menyatakan tentang kepenuhan hidup di dalam Kristus. Paulus menjelaskan bahwa Yesus Kristus adalah Kepala dari semua perintah dan penguasa, di dalam Dia jemaat disunat oleh sunat Kristus, jemaat dikuburkan di dalam Dia melalui baptisan, di dalam Dia jemaat turut dibangkitkan di dalam kuasa Allah, Dia yang mengampuni kita, dan hal-hal penting lainnya. Paulus menampilkan kembali gambaran Kristus yang utama di dalam seluruh dunia ini dan bukan hanya dalam hidup individu saja. Lalu Paulus masuk ke dalam ayat 16 dan 17. “Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus.”
Di dalam teologi Reformed, Kristus kita sebut sebagai Sabat yang sejati. Dia-lah yang sedang ditunjuk oleh Sabat itu. Sabat sebenarnya sedang berbicara tentang Pribadi yang sangat besar yaitu Kristus, makanya bangsa Israel tidak boleh gagal dalam hal ini. Persembahan korban dan Anak Domba Paskah pun juga sama pentingnya karena ini menunjuk kepada satu Pribadi yang ada di depan. Penggenapannya adalah Yesus Kristus. Ada orang-orang yang sangat taat hukum tetapi dia tidak melihat hukum ini sebenarnya untuk apa dan esensinya apa. Begitu pula orang-orang Farisi ini merayakan Sabat dengan segala peraturan yang mereka buat sendiri yang dikatakan di sini ada peraturan-peraturan manusia. Mereka gagal untuk melihat Pribadi yang sedang ditunjuk oleh Sabat itu. Dalam Matius 12 kita melihat hal yang sangat ironis yaitu Sabat yang sejati itu sudah ada di depan mata mereka tetapi mereka merasa lebih pintar soal Sabat dan menolak Sabat yang sejati itu.
Sudahkah kita mengerti makna ibadah kita? Apakah tahun-tahun yang lalu kita menjalankan ibadah kita hanya untuk memenuhi kewajiban dan lain-lainnya yang tidak esensi? Kita mengerti bahwa Sabat itu artinya perhentian. Ini berarti bahwa Kristus itu adalah perhentian kita yang sejati. Di dalam Perjanjian Lama, pada hari Sabat bangsa Israel berhenti secara fisik. Namun jangan sampai kita berpikir bahwa yang fisik dengan yang spiritual itu terpisah. Perhentian secara fisik itu mendorong kita untuk bisa menghayati dan memaknai arti yang lebih dalam tentang perhentian yang sesungguhnya secara spiritual. Kita harus bisa menghayati perhentian itu dan merenungkan bahwa perhentian yang sejati, peristirahatan yang sejati bagi jiwa saya hanya ada di dalam Kristus. Agustinus mengatakan (parafrase) ‘hatiku gelisah, tidak mendapatkan ketenangan, tidak mendapatkan istirahat, sampai aku menemukan Kristus.’ Kristus itu terlalu besar bagi kita dan kita tidak mungkin bisa mengerti sepenuhnya, tetapi kita mengucap syukur bahwa ada Allah yang maha besar yang memberikan kita peristirahatan. Di dalam dunia ini kita terus mengalami peperangan rohani, kita terus mengalami kesulitan, kesengsaraan, dan penderitaan tetapi Firman Tuhan berkata “Marilah kepada-Ku , semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28). Yesus memberikan kelegaan di tengah segala beban itu. Di dalam agama-agama lain para pengikutnya harus melakukan banyak ini dan itu baru bisa selamat. Mereka tidak bisa beristirahat sebelum melakukan semuanya. Mereka berakhir dengan kelelahan dan tanpa pengharapan. Kita sudah pernah melihat kisah Luther. Dia berkomitmen untuk menjadi biarawan karena takut akan hukuman Tuhan. Saat itu Luther belum mengerti tentang Kristus Pada waktu itu dia mencari tengkorak Yohanes Pembaptis karena dipercaya dapat menambah kerohaniannya. Dia mencari surat indulgensia, berdoa di setiap anak tangga depan gereja, semuanya dilakukan agar dosanya dapat dihapuskan dan dirinya disucikan. Luther mencoba segala cara tetapi dia belum menemukan solusi. Setelah dia membaca Perjanjian Baru barulah dia menemukan apa yang dia cari selama ini yaitu Yesus Kristus yang memberikan kedamaian dan ketenangan hati baginya.
Agustinus juga mengalami hal yang mirip. Ia begitu banyak melakukan dosa dan dia mencari keselamatan. Dia mencoba semua filsafat tetapi tidak menemukan solusi. Akhirnya dia mencoba filsafat Manikeisme yang menyatakan bahwa ada terang, ada gelap, ada baik, dan ada yang jahat, dan mereka terus beradu tetapi semuanya seimbang. Tetapi dia melihat tidak ada solusi dari semua ini. Suatu hari seorang anak kecil memberinya Alkitab “ambilah dan bacalah.” Setelah dia membuka dan membaca Perjanjian Baru barulah dia bertemu dengan Kristus. Hatinya baru menemukan kedamaian, peristirahatan, dan perhentian yang sesungguhnya pada waktu berjumpa dengan Kristus. Kiranya bagian ini bisa membuat kita semakin menghayati Sabat. Jangan sampai Sabat itu hanya kita anggap sebagai seperangkat kegiatan tanpa makna. Di tahun yang baru ini marilah kita mencoba untuk lebih menghayati lagi Kristus yang sudah mati bagi kita.