Thomas Adams

Thomas Adams (1583-1652) menempuh pendidikan Bachelor of Arts di Trinity College, Cambridge pada tahun 1602. Empat tahun kemudian, ia memperoleh gelar Master of Arts di Clare College. Sejak tahun 1604, ia sudah bertugas sebagai diaken dan imam di keuskupan Lincoln. Ia pun membantu pendeta yang melayani di Northill, Bedfordshire dari tahun 1605 hingga 1611.

Tahun 1605, ia mengalami kesulitan secara finansial karena tempat pelayanannya , Northill College Manor akhirnya dijual. Namun, pergumulannya secara pribadi akan finansial ini akhrinya membawanya dengan tajam memperhatikan isu-isu ekspolitasi kepada orang miskin atas perubahan sosial ekonomi di masanya. Ia berkhotbah mengenai keadilan sosial. Dengan ucapan kenabian, ia banyak mengecam keuntungan yang menyalahgunakan orang yang lemah. Ini juga yang membentuk Inggris modern mula-mula.

Khotbah pertamanya di Paul’s Cross, The Gallants Burden (1612) dicetak tiga kali di tahun 1616. Khotbahnya di tahun 1613, The White Devil menjadi khotbah yang sangat popler dan dicetak lima edisi di tahun 1621. Khotbahnya yang begitu luar biasa, dianggap sangat kaya secara literatur dan membentuk prose dan membentuk kemampuan dan pola khotbahnya. Bahkan, kemampuannya dianggap setara dengan Shakespeare.

Pelayanannya terus berkembang hingga tahun 1614, ia dinobatkan sebagai vikaris di Wingrave, Bukinghamshire dan kemudian berpindah ke London di tahun 1619. Di sana, ia menjadi rector dari St. Benet Paul’s Wharf dan gereja kecil St. Benet Shrehog. Lima tahun pertamanya di London, ia mengajar di St. Gregory yang memiliki jemaat sebanyak 3000 orang. Selanjutnya ia terkadang berkhotbah di St. Paul’s Cross dan Whitehall dan melayani sebagai pendeta untuk Henry Montagu, pangeran pertama dari Manchester dan Kepala peradilan mahkamah sang raja.

Adam adalah seorang pengkhotbah yang sangat kuat, penulis yang tulisannya sangat banyak dikutip dan sangat berpengaruh secara kerohanian. Ia pun dikelilingi orang-orang yang dari kalangan gereja maupun pemerintahan.

Jika dilihat dari apa yang ia jalankan di dalam pelayanan di dalam gereja, Adam lebih terbilang sebagai Calvinist Episcopalian dibanding Puritan. Akan tetapi Adam terhitung di dalam deretan para Puritan karena ia memeluk teologi Puritan. Ia berjuang untuk membersihkan gereja-gereja di Inggris dari sisa-sisa Roma Katolik atau “popery”.

Adam dikenal sebagai pengkhotbah yang sering mempublikasikan khotbah-khotbahnya yang begitu berkualitas. Dalam khotbahnya, ia banyak menunjukkan kekuatan doktrinal dengan pandangan Calvin, kepahitannya dengan sentiment anti-papal, serta kritik terhadap pemberhalaan terkait dengan paus yang mengancam akan masuk ke dalam gereja.

Hidup di tengah masa manusia dan apa yang diimaninya masih begitu dekat, membuat khotbah dan tulisan-tulisan Adam turut mendapat bagian dan mengubah masyarakat masa itu. Adam bukan saja menulis hanya berkaitan dengan iman saja, tetapi bagaimana seorang yang beriman seharusnya mengambil peran di dalam masyarakat. Meskipun di dalam masa itu pemikiran mengenai pemerintah dan gereja belum disusun dan dibangun sedemikian rupa, tetapi isu-isu yang diangkat Adam juga berasal dari apa yang dirasakan masyarakat.

Jika di masa ini, pemikiran secara teologis bisa kita dapatkan secara lebih komperhensif, termasuk di dalam pemikiran akan relasi pemerintah dengan gereja serta peran orang Kristen di tengah masyarakat, sangat memungkinkan bagi kita untuk turut pula berperan di tengah masyarakat. Iman yang mencari pengertian, pemikiran yang komperhensif serta kepekaan terhadap konteks, menjadi satu modal kita juga sebagai orang Kristen untuk turut menjadi pengaruh dan membawa kerajaan Allah yang semakin nyata di tengah dunia ini.

 

Sumber:

Meet The Puritans; with a guide to modern reprints, by Joel R. Beeke & Randall J. Pederson

Thomas Adam. https://www.radford.edu/~mpbaker/adamsart.html

Thomas Adam; Shakespeare of the Puritans. https://www.apuritansmind.com/puritan-favorites/thomas-adams-1583-1652/ 

 

(Diringkas oleh Sdri. Paulina)

Hudson Taylor

Lahir                : 21 Mei 1832 di Yorkshire, Inggris

Meninggal       : 3 Juni 1905 di Hunan, Cina

Ia dididik dalam keluarga pengkotbah dari kakek hingga ayahnya. Hudson kecil bertumbuh, melihat iman ayahnya dan keteguhan ibunya dalam berdoa. Ia memiliki cita-cita menjadi misionaris ke Cina. Walaupun melihat teladan kristiani dan pengajaran dari orang tuanya. Hudson tumbuh menjadi skeptis dan duniawi. Orang tua dan adik perempuannya khawatir mengenai iman Hudson kepada Kristus. Adiknya berdoa sendirian 3 kali sehari demi keselamatan kakaknya. Usia 17 tahun, Hudson membaca traktat penginjilan, sementara itu 200 km jauhnya ibunya sedang berdoa demi pertobatan putranya. Hudson menerima Kristus secara pribadi. Ia memutuskan mempersembahkan dirinya bagi Tuhan dan siap untuk pergi kemanapun Tuhan pimpin. Guru sekolah minggunya memberi semangat dan dorongan serta memberinya injili Lukas dalam bahasa Cina. Ia mempersiapkan diri sebaikmungkin untuk panggilan misinya. Pindah dari rumah yang nyaman ke tempat yang tidak nyaman dan menguatkan badannya dengan latihan fisik, membagi traktat, mengajar sekolah minggu, mengunjungi kaum miskin,  belajar bahasa Cina dan menjadi asisten Dr. Hardey untuk mendapatkan kesempatan menjadi misionaris di Cina. Ia bersama dengan Dr. Hardey belajar bergantung pada Tuhan tentang kehidupannya.

Sampai tiba saatnya ia pun pergi ke Cina. Perjalanan dengan menggunakan kapal di tempuh selama 5,5 bulan dengan melewati badai yang mengancam yang mana sampai pada 1 Maret 1854 di Cina. Karena Hudson datang sebagai seorang dokter, banyak orang sakit datang mencarinya. Sambil merawat tubuh jasmani mereka yang sakit, ia membertakan kesembuhan untuk jiwa yang sakit dan berdosa. Hudson memakai pakaian orang Cina, mencukur rambut dan membuatnya seperti model laki-laki Cina pada zaman itu, berkeliling ke kota-kota dan desa-desa untuk memberitakan injil. Sering ia mengalami kesulitan dan bahaya yang mengancam jiwanya. Hudson mendirikan China Inland Mission dengan banyak pos PI dan mengatur para misionaris ke berbagai tempat di Cina. Ia menghabiskan 5 tahun menterjemahkan kitab Perjanjian Baru dalam dialek Ningpo.

Pada tanggal 3 Juni 1905, Hudson meninggal. Kematiannya tidak menghentikan pekerjaan Tuhan yang telah dimulainya. Di tahun 1905, telah ada 205 pos. PI dengan 849 misionaris, 125.000 orang Kristen Cina di dalam lembaga China Inland Mission. Prof. Gustav Warneck mengatakan: “Hudson, seorang yang dipenuhi Roh Kudus dan iman dengan penyerahan diri yang penuh kepada Tuhan dan panggilannya, penuh penyangkalan diri yang luar biasa, hati yang penuh belas kasihan,  memiliki kuasa dan doa yang langka, kemampuan organisasi yang menakjubkan, inisiator yang bersemangat, ketekunan yang tak terkalahkan, pengaruh yang nyata terhadap hidup manysia dan kerendahan hati seperti seorang anak ….”

William Carey

Lahir                      : 17 Agustus 1761 di Paulerspury, Northamptonshire – Inggris

Meningaal          : 9 Juni 1834 di Serampur, India

Ayahnya bekerja sebagai tata usaha gereja dan kepala sekolah. Pelajaran kesukaan William adalah sejarah dan ilmu pengetahuan alam. Ia menyukai buku-buku tentang perjalanan keliling dunia dan petualangan. Kamarnya dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman dan serangga. William juga memiliki karakter untuk selalu menyelesaikan apa yang sudah dimulainya. Namun karena kesehatannya kurang baik pada masa remajanya, ia akhirnya melatih diri untuk menjadi pembuat sepatu.

Sambil bekerja membuat sepatu, William belajar berbagai ilmu pengetahuan. Ia membaca alkitab dalam bahasa Latin, Yunani dan Ibrani. Kecintaannya akan Firman Tuhan mendorongnnya untuk berkotbah dan mendoakan tempat-tempat yang diketahuinya belum menerima injil. Keyakinannya adalah “Jika sudah menjadi kewajiban bagi orang yang sudah mendengar injil untuk percaya maka menjadi kewajiban semua orang yang sudah menerima injil untuk memberitakannya kemana saja.”

William harus berusah payah mengumpulkan uang dan mencari rekan penginjlian. Awalnya, istrinya tidak mau ikut, namun akhirnya William dapat berangkat pada Juni 1739 dan tiba pada November di Kalkuta, India. Ia bertahan hidup bersama keluarganya dengan sedikit uang. Ia harus berjalan kaki 15 mil di tengah terik matahari melalui desa-desa di tengah-tengah hutan dengan ancaman serangan binatang buas dan penyakit malaria.

William terus bekerja untuk menginjili, menerjemahkan alkitab ke dalam bahasa Bengali dan Hindustani serta mengajar di sekolah. Tahun 1801 Alkitab Perjanjian baru dalam bahsa Bengali berhasil diterbitkan. Tahun 1804 misi penginjilan William di mulai di kota Cutwa dan dalam beberapatahun kemudian sekitar 20 misi penginjilan lainnya di mulai di kota-kota Hindustan. William berjuang 30 tahun untuk menghentikan kebudayaan India di sebut sati yaitu budaya yang mengharuskan seorang istri untuk ikut dibakar bersama dengan jenazah suaminya yang telah meninggal.

William terkena demam tinggi yang menyerangnya berkali-kali dan akhirnya meninggal dalam keadaan lemah. Ia meninggal tidak dengan kesedihan namun dengan sukacita dan ucapan syukur kepada Tuhan. Ia dikelilingi teman-teman dan rekan-rekan kerjanya, dan ia berpesan: “Ketika saya sudah tiada, jangan bicarakan mengenai Dr. Carey lagi, bicaralah tentang Juruselamat (Tuhan Yesus Kristus) dari Carey.”

John Sung

John Sung sang pengabar Injil dari Tiongkok yang sangat dikenal dalam kalangan gereja-gereja di Jawa, terutama di kalangan gereja-gereja Tionghoa, termasuk juga di kota Surabaya. John Sung diberi gelar Obor Allah di Asia, karena beliau merupakan seorang penginjil yang luar biasa pada abad 20, khususnya dalam acara-acara Kebaktian Kebangunan Rohani yang dipimpinnya. John Sung juga seorang pengkhotbah yang memulai pelayannya awal tahun 1933 di propinsi Shantung. Ia pernah juga bergabung satu tim dengan Dr. Andrew Gih, pendiri Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT), Malang. John Sung lahir di desa Hong Chek, wilayah Hing Hwa di propinsi Fukien, Tiongkok Tenggara, pada tanggal 27 September 1901. John merupakan anak ke-6 dari pendeta Sung, seorang hamba Tuhan di Gereja Methodist. Nama kecil yang diberikan keluarganya adalah Ju Un, artinya Kasih karunia Allah. Ayah John sebenarnya gembala sidang di Gereja Methodist Hong Chek, tetapi pada tahun 1907 ia pindah pelayanan ke Hing Hwa sebagai Wakil Kepala Sekolah pada sebuah Sekolah Alkitab Methodist di sana, waktu itu Ju Un berumur 6 tahun. Ayah Ju Un, yakni pendeta Sung sering bepergian dan waktunya cukup banyak tersita untuk pelayanan sebagai hamba Tuhan. Sementara itu Nyonya Sung harus bekerja keras di sawah untuk menambah penghasilan keluarga itu. Timbul banyak pergumulan berat, terutama dalam bidang ekonomi, tatkala keluarga itu bertambah besar. pendeta Sung sendiri hampir-hampir meninggalkan panggilannya sebagai hamba Tuhan, tatkala menghadapi kesulitan keuangan yang cukup berat. Namun ketika ia berlutut berdoa, Ia mengingat firman Tuhan “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri” (Amsal 3:5). Mulai saat itu ia tidak pernah lagi menoleh ke belakang atau meinggalkan penggilan Tuhan.

Waktu kecil Ju Un merupakan anak yang cerdas namun nakal. Salah satunya, ia pernah melemparkan sebuah mangkuk berisi nasi panas ke wajah adiknya. Karena takut akan hukuman yang segera akan diberikan, maka Ju Un memutuskan utnuk melompat ke dalam sumur. Suatu kali sesudah dipukuli ayahnya, ia mengintip dari celah-celah kamar kerja ayahnya. Ia heran melihat ayahnya menangis. Lalu ia berlari dan menabrak pintuk mendapatkan ayahnya. Ju Un berteriak, “Apa yang terjadi, Ayah? Ayah menghukum aku, tetapi aku tidak menangis. Mengapa justru ayah yang menangis?” Jawab ayahnya, “Ini adalah pelajaran mengenai kasih sayang Allah.” Pada tahun 1913, dalam sebuah Kebangunan Rohani di Hing Hwa, ia bertobat. Sejak itu, Ju Un mulai terlibat dalam pelayanan. Ia juga sering berkhotbah, sering ia digelari si “Pengkhotbah Cilik”. Ia juga senang membagi-bagi traktat di Alun-alun, menjual Alkitab, memimpin puji-pujian; sekalipun waktu itu ia masih sekolah lanjutan. Sifat-sifat jeleknya rupanya masih sukar ia lenyapkan, kadang-kadang emosinya suka tidak terkendalikan (ia sering marah) dan sombong. Hal ini yang membuat ayahnya berkesimpulan bahwa Ju Un tidak layak menjadi hamba Tuhan, lebih baik ia kuliah disiplin pendidikan yang lain saja.

Suatu hari, Ju Un datang menyampaikan keinginannya kepada ayahnya, bahwa ia hendak sekolah ke luar negeri. Ayahnya menyatakan bahwa ia tidak mampu dalam membiayai kuliah Ju Un. Ia terus berdoa dan bersandar kepada Allah supaya membuka jalan baginya. Beberapa hari kemudian datang surat dari Beijing yang menawarkan secara cuma-cuma untuk kuliah di Universitas Wesley di Ohio. Biaya makan dan tempat tinggal disediakan. Jemaat ayahnya tergerak untuk mendukung. Di dalam perjalanan itu, hanya dia sendiri yang Kristen, sehingga ia merasa sedih, tatkala teman-temannya berperilaku jelek. Ju Un mendaftarkan diri masuk Universitas. Beasiswa yang dia terima hanya cukup untuk membayar uang kuliahnya. Janji untuk mendapatkan uang konsumsi dan akomodasi tidak dipenuhi. Dengan uang enam dolar di kantong, ia menghadapi pergumulan yang sangat berat. Ia pun mencari pekerjaan. Yang pertama dilakukan adalah membersihkan toko, dengan upah 25 sen per jam. Kemudian ia bekerja keras di sebuah hotel. Dengan cara demikian, ia mendapat upah selama musim panas untuk membiayai ongkos hidup di musim dingin. Selama empat tahun ia berada di Amerika Serikat merupakan tahun-tahun perjuangannya melawan kemiskinan dan kesehatan. Sebagai seorang mahasiswa John Sung ternyata cukup istimewa dan luar biasa. Ia masuk jurusan Fisika dengan eksakta dan kimia sebagai pelajaran utamanya. Tahun kuliahnya yang terakhir merupakan beban berat baginya. Waktu yang dia perlukan untuk belajar mulai menyita waktu yang dia perlukan untuk menelaah Alkitab dan berdoa secara pribadi. Kemunduran rohaninya cukup berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Ia menjadi orang yang sombong dan tidak sabar. Tahun 1923, ia mendapat ijazah B.A dengan penghormatan tertinggi. Ia juga terpilih menjadi anggota perkumpulan yang sangat eksklusif, yang hanya terbuka bagi sarjana terkemuka saja. Ia menjadi tersohor, banyak tawaran untuknya, mulai dari kedudukan tertinggi sampai gaji yang besar. Namun, dalam hati sanubarinya tidak ada damai sejahtera. Pada musim gugur, ia masuk Universitas Negeri di Ohio, yang mempunyai lebih 10.000 orang mahasiswa. Tetapi di sana kehidupan rohaninya semakin mundur, sebab kegiatan organisasinya cukup banyak, misalnya kampanye melawan diskriminasi rasial. Walaupun ia cukup sibuk, tetapi dalam kuliahnya ia tetap nomor satu. Dalam waktu sembilan bulan, ia telah meraih ijazah Sainsnya. Pemerintah Tiongkok mulai mencurahkan perhatian kepadanya dan memberinya beasiswa. Pemikirannya dapat terfokus pada pendidikan, sehingga ia berhasil meraih gelar Ph.D.-nya dalam jangka waktu satu tahun.

Tanggal 10 Februari 1926, Dr. John Sung, M.Sc, Ph.D. telah memutuskan untuk menjadi hamba Tuhan dan ia telah mendaftarkan diri di Union Theological Seminary. Tanggal 4 Oktober 1926, John Sung kembali ke Tiongkok. Pada waktu kapal hendak merapat di dermaga pelabuhan Shang Hai, John Sung membuang ijazah sarjananya serta tanda-tanda penghargaan yang diperolehnya di Amerika Serikat ke dalam laut, kecuali ijazah doktornya untuk diperlihatkan dan menyenangkan hati ayahnya. Ia menganggap bahwa penghargaan-penghargaan dan ijazahnya dapat menggoda dia meninggalkan panggilannya sebagai penginjil. Kemajuan kerohaniannya semakin terlihat, Sung menanggalkan semua kemuliaan dunia untuk mendapatkan yang lebih berharga, yakni kemuliaan Allah. Tahun 1927, John Sung mulai mengadakan Kebangunan Rohani di Hing Hwa. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri John Sung sangat mengagetkan ayah dan ibunya. Tawaran pekerjaan dari pemerintah Tiongkok ditolaknya. Ia mengadakan perjalanan keliling untuk penginjilan di seluruh Tiongkok (Hing Hwa: 1927-1930; Foo Chow, Shang Hai , 1930; Nan Chang, Tiongkok Utara, Mancuria: 1931; Tiongkok Selatan: 1923; dan Tiongkok Utara lagi: 1933-1934).

John Sung mendapat karunia penyembuhan dari Tuhan, ia selalu mendoakan orang-orang yang sakit, mujizat terjadi, banyak yang disembuhkan oleh Tuhan. John Sung mengutip beberapa ayat Alkitab atau berkata “Dengan Nama Tuhan Yesus”. John Sung sadar bahwa dengan cara ini, orang-orang yang disembuhkan nantinya akan salah pengertian, mengaggapnya sebagai dukun. Namun, ia selalu memberi penjelasan, bahwa yang menyembuhkan mereka adalah Tuhan. Memang tidak semua orang yang didoakan John Sung mengalami kesembuhan, tetapi itu tidak menjadi persoalan, baginya yang terpenting jiwa orang tersebut diselamatkan; kesembuhan jasmani sifatnya hanya sementara saja.

Undangan yang pertama kali diterima oleh John Sung untuk melayani di luar negeri datangnya dari negara Philipina, yakni di kota Manila. Kotbah Dr. Sung berbicara tentang dosa, penyesalan, kelahiran kembali dan masalah kesucian hidup. Kutukannya terhadap dosa jelas dan sangat gamblang, tanpa ada rasa takut. Kadangkala ia menuding ke arah seorang pendeta di tengah pertemuan itu dan berteriak, “Hatimu bergelimangan dosa.” Dan tudingannya selalu tepat. Salah seorang yang datang ke pertemuan yang diadakan di Manila itu ialah Konsul Jendral Tiongkok, yang hidup risau dan penuh dosa. Ia dibujuk menghadiri rangkaian pertemuan itu oleh calon istrinya, tetapi ia tidak bertobat. Di sana, ia meneruskan hidupnya yang jahat itu, tetapi Tuhan mengirim John Sung ke sana juga. Melalui pelayanan penginjilan ini, Konsul itu berobat dan sungguh-sungguh lahir kembali.

Di kemudian hari ia menjadi Kepala Sekolah Alkitab di Pulau Jawa. Sebelum John Sung kembali ke Tiongkok, ia sempat berkunjung ke Cebu, sebuah pulau yang terletak di gugusan kepulauan Filipina. Di Ceb, seorang wanita yang telah bertekad tidak akan memandang sorotan mata Dr. John Sung, sebab dia takut terpengaruh olehnya. Seperti biasanya, Dr. Sung berkotbah penuh semangat, sehingga pakaiannya basah penuh keringat. Tetapi perempuan itu melihat sesuatu yang mengherankan, tatkala seorang redaktur surat kabar disembuhkan seketika. Redaktur yang tadinya bungkuk, menjadi tegak berdiri berkat doa John Sung. Di kemudian hari, redaktur ini terjun aktif dalam pelayanan penginjilan; sementara perempuan itu menjadi anggota Majelis Gereja Cebu. Dari pulau Cebu, ia ke Singapura, di sana ia berkhotbah sebanyak 40 kali dalam 14 hari. Sejumlah 1.300 orang bertobat dan 111 regu penginjil dibentuk dengan 503 orang anggotanya. Lebih dari 80 orang pemuda menyerahkan diri secara “fulltime” menjadi hamba Tuhan. Demikianlah pelayanan Dr. Sung yang membawa hampir 5.000 orang bertobat. Dari Singapura, kemudian John Sung kembali ke Tiongkok dan menjalankan misi penginjilan keliling dengan hasil yang cukup memuaskan. Antara tahun 1938-1939, ia mengadakan penginjilan ke Muangthai dan Serawak. Akhir tahun 1938, Dr. Sung mengadakan serangkaian-serangkaian perjalanan penginjilan ke Indonesia atas undangan jemaat-jemaat Tionghoa di Surabaya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk memberitakan Injil di beberapa kota besar di Indonesia. Di Surabaya tatkala diadakan pertemuan, walaupun pada hari-hari kerja; pengunjungnya tetap penuh sesak. Dr. Sung tampil dengan sosok tubuh yang kurus tidak memberi kesan apa-apa. Ia mengenakan baju putih Tiongjoa yang sederhana dan rambutnya jatuh menutupi dahinya. Di Surabaya, Dr. Sung didampingi dua penerjemah, yakni yang menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dari Surabaya, beliau melanjutkan perjalanan ke Madiun, Solo, Jakarta, Bogor, Cirebon, Semarang, Magelang, Purworejo, Yogyakarta dan kembali ke solo; kemudian masuk lagi ke Surabaya. Selain itu, ia juga masuk ke Makasar (Ujung Pandang) dan Ambon. Dr. Sung berada di Indonesia kurang lebih 3 bulan. Pekerjaannya cukup melelahkan, sakitnya mulai kambuh (TBC, pinggul dan jantung lemah).

Peranan John Sung bagi jemaat-jemaat Tionghoa di pulau Jawa sangat besar. Ia membakar semangat orang-orang Tionghoa, baik yang belum maupun yang sudah percaya; menjadi percaya dan lebih semangat melayani. Di Ambon, telah berhasil dibangun sebuah jemaat Tionghoa, hasil pekerjaan John Sung. Jemaat tersebut diberi nama Gereja Kristen Tionghoa (Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee). John Sung adalah seorang pengkhotbah yang bersemangat, kadang-kadang ia turun dari mimbar dan berdiri di tengah-tengah hadirin sambil menunjuk dengan jarinya ke muka seseorang pendengarnya sambil berkhotbah. Kotbahnya sungguh menusuk perasaan, sehingga dengan spontan banyak pendengarnya yang bertobat dan menerima Yesus sebagai Juruselamat. Di dalam kesibukan pelayanan John Sung, ia masih sempat menulis buku yang diberi judul Alegori-alegori (cerita-cerita kiasan). Dalam buku itu, ia merangkaikan cerita untuk setiap kitab dalam gaya bahasa kiasan. Pokok pikirannya berisi tema tentang gereja dan pekerja gereja. Bagaimana membangun sebuah jemaat? Bagaimana seterusnya memimpin jemaat itu, khususnya dalam bidang kerohaniannya? Pekerja-pekerja model apa yang diperlukan Allah untuk mengumpulkan panenNya? Watak dan hidup seorang hamba Tuhan. Ia mendesak semua orang mengenai Allah dan menuruti sepenuhnya kehendak Allah. Salib merupakan pusat pemberitaannya.

Di kota Shang Hai, John Sung muncul untuk kali yang terakhir. Orang-orang berjubel-jubel, dan sementara menunggu pengkhotbah mereka asyik bercaka-cakap. Dr. Sung muncul, tiba-tiba dengan tinjunya ia memukul meja sekeras-kerasnya sambil berteriak, “Apakah ini gedung untuk berkomedi atau untuk kebaktian?” Semua terdiam, lalu ia mulai berkhotbah. Alkitab yang dikutip hari itu adalah dari 1 Tesalonika 5:2, “Hari Tuhan datang seperti pencuri waktu malam.” Tubuh John Sung makin lemah; hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa ia menderita kanker dan TBC. Dalam keadaan sakit, ia mendapat kabar Yosua anaknya meninggal di Shang Hai. Kelihatannya hal ini menjadi pukulan yang sangat berat. Namun Dr. Sung telah mengenal Tuhan begitu baik, oleh sebab itu ia menerima kejadian itu dengan pasrah, imannya tidak goyah.

Tahun 1943 merupakan tahun yang paling sulit bagi John Sung. 16 Agustus 1943, John Sung begitu jelas mengetahui bahwa ia akan meninggal. Malam itu pula ia tidak sadar, tetapi besoknya ia pulih kembali dan sempat menyanyikan tiga lagu rohani. Tidak lama kemudian tubuhnya kembali lemah. Pukul 07.07 waktu setempat, tepatnya tanggal 18 Agustus 1943, dalam usia 42 tahun; John Sung dipanggil Tuhan saat sahabat-sahabatnya berdoa di samping tempat tidurnya. Penguburan almarhum John Sung dilakukan tanggal 22 Agustus 1943. “Berbahagialah orang-orang yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini.” “Sungguh,” kata Roh, “supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” Hadir pada waktu itu semua utusan dari semua bagian negeri. Pemberi amanat firman Tuhan adalah Pendeta Wang Ming Tao dari Beijing. Beliau mengutip Yeremia 1:4-9. Pendeta Wang mengatakan John Sung dipanggil seperti Yeremia untuk menebus dosa gereja dan masyarakat, untuk menjadi seperti “Tiang Besi” tidak takut kepada manusia dan setia sampai mati.

Sumber: http://www.kompasiana.com/saumiman/john-sung-obor-tuhan-dari-asia_55d49f53a2afbd640b140826

Gisbertus Voetius

Gisbertus Voetius (1589-1676), lahir di keluarga Belanda yang berkomitmen sangat ketat di dalam pandangan teologi dan iman Reformed. Hidup di tengah masa kedatangan Spanyol, ayah dan kakeknya keduanya meninggal di tengah mempertahankan iman dan praktik iman Reformed-nya. Ia dikenal sebagai tokoh yang besar dan penting di kalangan “Second Reformation” (Nadere Reformatie), atau dikenal dengan Further Reformation.

Further Reformation memiliki gagasan yang menyerupai dengan gerakan Puritan di Inggris dan Pietis di Jerman. Gagasan utamanya adalah, kehidupan yang juga diubahkan oleh firman. Bukan hanya sekedar pengertian secara teologi dan doktrinal. Pengetahuan semacam itu, tidak otomatis membuat orang Kristen kebal dari godaan dan dosa. Maka, gerakan yang hadir di Belanda ini mengajak orang Kristen untuk memiliki kehidupan spiritual yang juga baik, sebagaimana dibangun di atas teologi yang baik juga.

Voetius menempuh pendidikan teologinya di Universitas Leiden di usia ke-15. Ia dikenal memiliki semangat sebagaimana dimiliki ayah dan kakeknya, ditambah dengan bakat yang tidak biasa. Ia pun membuat banyak sekali kesan yang mendalam dan sangat besar baik di gereja maupun negaranya. Di masa permulaan pendidikannya, kontroversi dari gerakan Arminian sedang sangat besar dan diterima dengan luas. Tahun 1612, ia menikah dengan Deliana van Diest dan memiliki 10 anak dari pernikahannya ini.

Melayani di sinode regional, Voetius melahirkan banyak sekali pekerjaan pastoral, kesarjanaan dan tulisan-tulisan lainnya. Tahun 1634, ia dipanggil untuk mengajar teologi dan bahasa oriental. Kemudian, ia membuka suatu sekolah di Utrecht dan kemudian menjadi universitas. Dalam dua tahun, ia menjadi kepala sekolah tersebut. Dan sekolah tersebut berhasil mendapat reputasi yang sangat baik di dunia internasional dan menarik banyak sekali murid-murid asing. Hal yang sangat berkesan di sekolah ini adalah pengajaran akan Calvinistic dan praktik kehidupan yang sangat saleh, yang mereka ditemukan baik di aula pengajaran, ruang makan hingga mimbar.

Pemikiran Voetius sangat dipengaruhi oleh Calvin dan Fransiscus Gomarus, profesornya di Leiden. Pengajaran dan penulisannya sangat dipengaruhi dengan pemikiran medieval akan tetapi tidak berhenti sampai di sana. Bukan sekedar pemikiran analogical yang diutamakan saja, namun juga praktek dan kehidupan yang sangat menunjung tinggi kemuliaan Tuhan.

Serangan dari tulisan-tulisan Voetius yang sangat tajam dan kritis adalah atas pengajaran teologi yang salah di zamannya. Seperti pengajaran dari Roma Katolik dan Arminian. Jacobus Arminius ini sendiri semula adalah guru Voetius di Leiden. Arminius sendiri sangat menentang pengajaran mengenai predestinasi yang diajarkan oleh gurunya, Theodore Beza. Arminius menekankan pemilihan orang-orang percaya berdasarkan respon manusia kepada Allah. Allah terlebih dahulu mengetahui respon apa yang akan diberikan oleh manusia. Manusia bisa percaya ataupun tidak menerima anugerah keselamatan itu. Voetius menyerang ajaran ini.

Dalam persidangan yang sangat penting, Synod of Dordrecht (1618-1619), Voetius mengambil peranan yang sangat penting dalam  menentang ajaran Arminian ini. Pertemuan ini yang kemudian kita kenal dalam merumuskan 5 poin TULIP. Tentu poin-poin ini dikeluarkan sebagai suatu bentuk pengakuan iman yang berbeda dengan pengajaran dari Arminian.

Voetius juga menyerang ajaran Rene Descartes yang meninggikan common sense dan human reason. Voetius menentang pemikiran ini yang akhirnya sangat meninggikan rasio manusia dibanding iman, keperluan akan Firman Tuhan dan iluminasi dari Roh Kudus. Pengajaran lain yang juga ia lawan adalah dari Johannes Cocceius. Ia menyatakan bahwa perjanjian keselamatan diinisasi oleh Allah namun membutuhkan tanggungjawab manusia.

Pengajaran yang juga popular namun tidak tepat di masa itu adalah Jean de Labadie, dikenal dengan Labadism. Setuju dengan pengakuan iman Reformed, namun memberi penekanan yang sangat ekstrim pada gagasan tentang kesalehan (piestistic). Labadiasm menolak gereja secara institusi, fungsi, sakramen dan liturgi yang formal. Ini adalah kepercayaan dan praktika yang berbahaya dan tidak bibikal.

“Rock of Gibraltar” sebuah panggilan yang disematkan kepada Voetius oleh teman-teman dan koleganya. Voetius mengambil peranan yang sangat penting di dalam setiap pemikiran dan karya-karyanya. Dan setiap hasil penulisan ini menjadi pengaruh yang besar, penting dan memengaruhi begitu banyak gereja dan juga negara.

Kemampuan seorang Voetius memberikan pengaruh besar kepada zamannya dan menjadi acuan bagi teolog-teolog besar lainnya setelah zamannya. Komitmennya terhadap keseluruhan hidup yang dipengaruhi oleh Firman, pengenalan akan Allah yang benar dan kehidupan spiritualitas yang juga sinkron terhadap keseluruhannya ini, menjadikan ia sanggup melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan komitmen awal iman yang benar berdasarkan Alkitab. Maka, hal ini juga mengingatkan kita, seberapa bertumbuhnya kita di dalam pengenalan akan firman Tuhan? Keutuhan di dalam Firman, pengenalan akan Tuhan secara pribadi dan kehidupan spiritual kita. Sehingga, jika Tuhan memang memberikan anugerah untuk kita berperan membawa namaNya di tengah panggilan masing-masing kita, kita dapat menjadi saksi Kristus yang sejati.

 

Sumber:

Voetius, Gisbertus dan Johannes Hoornbeeck. “Spiritual Desertion”, Introduction. Classics of Reformed Spirituality. Grand Rapid: Baker Academic, 1659

Voetius, Gisbertus. http://www.bu.edu/missiology/missionary-biography/t-u-v/voetius-gisbertus-gijsbert-voet-1589-1676/ School of Theology

(Diringkas oleh Sdri. Paulina)