Pergaulan dan Kebiasaan

Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik. (1 Korintus 15:33)

Charles Darwin berkata “A man’s friendships are one of the best measures of his worth” (pergaulan seseorang adalah salah satu tolak ukur terbaik untuk menilai orang tersebut). Pernyataan ini benar adanya. Paulus menyatakan bahwa pergaulan yang buruk akan merusakkan kebiasaan yang baik. Ada yang dengan percaya diri mengatakan “saya tidak akan dipengaruhi orang lain, justru saya akan mempengaruhi orang lain” namun kemudian jatuh ke dalam dosa temannya. Ada yang bertanya “bagaimana saya dapat menginjili orang berdosa jika saya tidak bergaul dengannya?” Ada pula yang bertanya “jika saya memilih teman, bukankah itu berarti saya pilih kasih?” Bagaimana kita memahami ayat ini?

 

Manusia sebagai makhluk sosial

Allah menciptakan manusia sebagai mahluk sosial. Allah berkata “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kejadian 2:18). Ayat ini tidak hanya berlaku di dalam pernikahan. Alkitab juga menyatakan “Berdua lebih baik dari pada seorang diri” dan “tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!” (Pengkhotbah 4:9-10). Bergaul merupakan kebutuhan bagi manusia yang adalah makhluk sosial. Manusia diciptakan untuk berelasi dengan Allah dan dengan manusia di dalam kasih (Matius 22:37-40).

 

Manusia selalu dipengaruhi oleh hal-hal di sekitarnya, terutama yang didambakannya

Setiap manusia lahir dalam budaya tertentu. Budaya pasti berkontribusi dalam pembentukan jati diri seseorang. Lingkungan yang buruk cenderung membentuk manusia menjadi buruk, begitu pula sebaliknya. Pergaulan merupakan faktor yang kuat dalam pembentukan jati diri seseorang. Pembentukan jati diri seseorang pertama-tama dipengaruhi oleh keluarga atau orang-orang terdekatnya. Jika orang tersebut tidak merasa puas dengan pengaruh yang diberikan oleh keluarganya, ia akan cenderung mencari jati dirinya dari komunitas lain, misalnya teman-teman sebayanya (inilah hal yang sering terjadi). Seorang anak bisa bergaul lebih akrab dengan teman-temannya daripada keluarganya sendiri (misalnya anak lebih merasa nyaman mencurahkan isi hatinya kepada teman-temannya ketimbang keluarganya sendiri). Hal itu tidak mengherankan karena itulah yang seringkali terjadi, namun seharusnya tidak demikian. Jika itu terjadi, maka pembentukan identitas anak akan lebih dipengaruhi oleh teman-temannya ketimbang keluarganya. Singkatnya, jati diri seseorang akan dibentuk oleh apapun atau siapapun yang dia suka, dekati, atau dambakan. Alkitab menyatakan bahwa penyembah berhala akan menjadi seperti berhala pujaannya (Mazmur 115:4-8 dan 135:15-18). Seorang penggemar (fan) akan berdandan dan berbicara seperti idolanya. Ini berarti bergaul karib dengan Allah yang sejati merupakan keharusan bagi setiap orang yang ingin hidup dengan benar. Pergaulan orang percaya dengan Allah harus lebih akrab daripada dengan manusia. Alkitab menyatakan bahwa pengikut Yesus harus lebih mengasihi Allah daripada manusia (Matius 10:37).

 

Memilih pergaulan

Alkitab memang menyatakan secara gamblang bahwa orang percaya harus memilih pergaulannya dengan hati-hati. Paulus tidak menyatakan “pergaulan yang buruk dapat/berpotensi merusakkan kebiasaan yang baik.” Ia menyatakan “pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” Jadi pergaulan yang buruk bukan hanya merupakan hal yang beresiko bagi kerohanian tetapi merupakan hal yang harus dihindari. Orang percaya memilih pergaulan bukan karena pilih kasih terhadap orang-orang tertentu tetapi karena orang percaya lebih mengasihi Allah yang kudus yang menginginkan orang percaya untuk hidup kudus di hadapan-Nya. Orang percaya tidak boleh merasa dirinya cukup kuat dalam menjaga hidup. Paulus menulis “siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!” (1 Korintus 10:12). Tuhan Yesus mengajarkan doa “janganlah membawa kami ke dalam pencobaan” (Matius 6:13). Ini berarti orang percaya harus menjauhkan diri dari pencobaan, bukan malah mencobai diri sendiri (Yakobus 1:14-15). Yusuf segera menghindar dari isteri Potifar yang mengajaknya berzinah (Kejadian 39:12).

 

Penginjilan dan pergaulan

Jika seorang percaya ingin menginjili orang lain, ia perlu berkomunikasi dan tidak harus bergaul dengan orang tersebut. Pergaulan memang dapat menjadi jembatan atau sarana dalam penginjilan, tetapi pergaulan tidak selalu harus menjadi hal yang mutlak dalam penginjilan. Ketika Tuhan Yesus mengutus para muridnya untuk memberitakan Injil, Tuhan Yesus tidak menuntut mereka agar memakai waktu untuk bergaul terlebih dahulu dan baru setelah itu memberitakan Injil (Lukas 10:1-12). Tuhan Yesus mau mereka segera memberitakan Injil.

Bagaimana dengan Tuhan Yesus yang makan bersama (bergaul) dengan orang-orang berdosa (Matius 9:11)? Hal pertama yang harus dimengerti adalah bahwa Yesus datang dengan misi untuk mencari orang berdosa (Matius 9:13). Kedua, Yesus adalah Sumber kekudusan itu sendiri. Ketika Ia mengunjungi orang berdosa, bukan Ia yang menjadi berdosa (karena terpengaruh) tetapi orang berdosa-lah yang menjadi bertobat (Lukas 19:8). Orang percaya harus mengawasi dirinya (1 Timotius 4:16) dan berjaga-jaga karena daging itu lemah (Matius 26:41).