Sukacita dan Penderitaan dalam Pelayanan

“Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.”

(2 Korintus 1:3-4)

 

Pelayanan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Kristen. Baik yang terbesar maupun yang terkecil, semua yang percaya kepada Tuhan merupakan anggota tubuh Kristus. Setiap anggota tubuh Kristus tidak dipanggil hanya untuk berdiam dan menjadi penonton, tetapi dipanggil untuk melayani seluruh tubuh Kristus. Namun kita harus mengakui bahwa pada faktanya pelayanan tidaklah selalu menjadi kegiatan yang sepenuhnya menyenangkan, bahkan ketika kita melayani di dalam gereja sekalipun. Mereka yang melayani Tuhan tidak pernah terlepas dari tantangan pelayanan. Tantangan tersebut bisa datang dari luar gereja maupun dalam gereja. Setan pun turut ikut campur agar panggilan orang Kristen untuk melayani dapat digagalkan atau setidaknya diminimalisir sehingga orang Kristen tidak bisa melayani Tuhan secara maksimal. Alkitab menyatakan bahwa Rasul Paulus pun mengalami banyak penderitaan dalam pelayanannya, namun ia tidak pernah mundur meskipun ia sempat mengalami keputus-asaan. Apa yang menjadi alasan bagi Paulus untuk tetap bersemangat melayani Tuhan di tengah kesulitan?

 

Allah sebagai sumber segala penghiburan selalu memberikan penghiburan yang melimpah bagi pelayan-pelayan-Nya yang mengalami penderitaan

Jika kita mengakui bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu, berarti kita juga mengakui bahwa Allah adalah sumber segala penghiburan. Kebenaran ini menguatkan kita karena kita tahu bahwa Allah yang tidak terbatas dapat memberikan penghiburan yang tidak terbatas dengan kualitas yang tak ternilai harganya. Penghiburan dari Allah tidak dapat dibandingkan dengan penghiburan yang dunia tawarkan. Penghiburan dari dunia hanya bersifat sementara dan dapat membosankan. Ada begitu banyak selebritis yang begitu rajin mengejar penghiburan dan kesenangan duniawi dan berakhir dengan bunuh diri. Mengapa ini bisa terjadi? Mereka menyadari bahwa penghiburan duniawi terbatas adanya dan tidak dapat memuaskan kekosongan di dalam hati mereka. Bunuh diri menjadi pembebasan bagi jiwa mereka yang kosong. Mereka yang tidak menemukan jawaban bagi kekosongan hati mereka di dalam Tuhan akan berakhir dengan tragis. Namun terpujilah Tuhan karena Dia telah menyatakan kepada kita kebenaran yang mengagumkan ini. Kita sebagai pelayan-pelayan-Nya tidak perlu takut kekurangan sukacita, karena Ia yang selalu menyediakan bagi kita. Paulus yang sudah mengalami begitu banyak penderitaan (2 Korintus 11:23-29) bersaksi bahwa penghiburan yang ia terima di dalam Kristus begitu berlimpah-limpah (2 Korintus 1:5). Setelah melewati begitu banyak penderitaan, Paulus tidak pernah sekalipun berkata “aku menyesal telah melayani Tuhan.” Ia mengenal Tuhan yang ia layani. Jika saat ini kita menemukan diri kita sedang patah semangat dalam pelayanan, hendaklah kita mengingat Dia yang menjadi sumber penghiburan kita.

 

Allah menjadikan kita saksi dan saluran berkat yang efektif melalui penderitaan

Selain Paulus sendiri merasakan penghiburan dari Allah, Paulus menyatakan bahwa penghiburan itu bukanlah untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk saudara-saudari seimannya. Berkat yang kita terima dari Tuhan bukanlah untuk diri kita sendiri tetapi untuk kita bagikan kepada sesama kita, sehingga banyak orang dapat menikmati anugerah Tuhan. Paulus telah menerima penghiburan yang melimpah dari Allah sehingga ia “sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah” (2 Korintus 1:4). Allah memakai pengalaman penderitaan dan penghiburan Paulus sehingga Paulus dapat menjadi saksi yang efektif dan menjadi saluran berkat bagi orang-orang yang dilayaninya. Sungguh indah ketika kita menyadari bahwa setiap penderitaan yang kita alami bukanlah kesia-siaan tetapi menjadi alat di tangan Tuhan untuk mendatangkan berkat bagi banyak orang. Yusuf telah bersaksi bahwa manusia dapat mereka-rekakan yang jahat, namun Allah dapat memakainya untuk mendatangkan kebaikan (Kejadian 50:20). Kita tidak mungkin hidup terlepas total dari penderitaan. Penderitaan pasti terjadi. Namun fokus kita adalah bagaimana melihat makna penderitaan tersebut di dalam Tuhan dan melihat berkat Tuhan di balik penderitaan tersebut.

 

Allah mengizinkan keputus-asaan untuk mengingatkan para pelayan-Nya agar tidak bergantung kepada diri sendiri tetapi kepada Allah

Rasul Paulus yang kelihatannya begitu besar imannya pun ternyata pernah mengalami keputus-asaan (2 Korintus 1:8). Ini mungkin mengejutkan tetapi begitulah faktanya. Mungkin kita pernah terkejut mendengar seorang pendeta yang begitu besar pengaruhnya dan yang sangat terkenal pernah jatuh dalam keputus-asaan. Charles Spurgeon yang terkenal dengan sebutan Prince of Preachers pun pernah mengalami depresi dalam hidupnya. Jika kita mengingat kisah Elia yang lari dari Izebel, kita akan menemukan kalimat keputus-asaan Elia (1 Raja-raja 19:3-4). Sekuat apapun manusia, sebesar apapun imannya, pasti pernah mengalami keputus-asaan. Namun Paulus menemukan motivasi yang kuat “hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati” (2 Korintus 1:9). Paulus menemukan kekuatan, bukan dengan berkata di depan cermin “kamu bisa, kamu pasti bisa,” bukan mencari motivator duniawi, tetapi dengan mengingat kembali Allah yang ia sembah. Allah yang seperti apa? Paulus menyatakan “Allah yang membangkitkan orang-orang mati.” Ini adalah iman yang dimiliki Abraham ketika ia memutuskan untuk menjalankan perintah Tuhan dan mempersembahkan Ishak (Ibrani 11:19). Paulus tidak berdiam di dalam keputus-asaan, demikian pula Abraham tidak depresi karena harus mempersembahkan nyawa anaknya. Mereka mengingat kembali kepada Allah yang bahkan sanggup menghidupkan yang telah mati. Allah berkuasa untuk terus menerus membangkitkan jiwa kita yang lelah dan hampir mati. Jika dalam pelayanan kita berfokus kepada Allah dan bukan manusia, maka kita akan terus menemukan pengharapan yang selalu baru setiap hari (Ratapan 3:22-26).

 

Mari kita mengingat kembali alasan kita melayani, siapa yang kita layani, dan merenungkan bagaimana kita dapat terus bersukacita dalam pelayanan seperti yang Paulus rasakan.