Kutipan oleh Glen Stasse dan David Gushee yang diambil dari buku “Etika Kerajaan” (Surabaya: Momentum, 2008) halaman 29.
Dukacita, seperti miskin di hadapan Allah (miskin dalam roh), mempunyai makna ganda. Kata ini berarti duka kesedihan karena kehilangan seseorang atau sesuatu yang sangat dicintainya: orang yang tertindas dan orang yang berkabung berdukacita karena mereka mengalami kehilangan yang nyata dan menjadi sedih. Tetapi kata itu juga dapat berarti pertobatan: orang berdosa berdukacita karena dosa-dosanya dan dosa komunitasnya, dan mereka sungguh ingin mengakhiri dosa mereka dan melayani Tuhan. Nabi Amos mengumumkan penghukuman Allah atas orang-orang yang tidak berkabung. Mereka memeras orang lemah dan menginjak orang miskin dan berkata kepada tuan-tuan mereka, ‘bawalah [anggur] kemari, supaya kita minum-minum!’ Mereka berbuat dosa dan kemudian membawa korban-korban persembahan ke dalam Bait Suci. Mereka pikir korban-korban persembahan mereka akan menutup dosa-dosa mereka, selagi mereka terus berlaku tidak adil. Allah mengucapkan celaka atas mereka yang tidak berkabung: “Celaka atas orang-orang yang merasa aman di Sion… yang berbaring di tempat tidur dari gading… yang bernyanyi-nyanyi mendengar bunyi gambus… tetapi tidak berduka karena hancurnya keturunan Yusuf!… Bahwasanya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuata mereka! Tidakkah akan gemetar bumi akan hal itu, sehingga setiap penduduknya berkabung?… Aku akan mengubah perayaan-perayaanmu menjadi perkabungan” (Am. 4:1-5; 5:6, 14; 6:1-7; 8:7-10; 9:5). Ketika Yesus menyerukan untuk berdukacita, yang dimaksudkan-Nya adalah berdukacita dalam pertobatan yang tulus sehingga kita mengubah cara hidup kita.